• Home
  • Cerpen
  • Local Cafe
    • Local Cafe
    • Others
    • Category
  • HOMEMADE FOOD
  • TRAVEL
  • Others

Rumpi Cangkir Kopi

Cerita dari tetes-tetes kopi, rintik-rintik hujan dan kesyahduan hening

facebook google twitter Instagram linkedin

Kulirik jam dinding yang tergantung di sebelah kanan pintu, jam 10 malam. Nampaknya malam ini aku tidur lebih cepat saja, hari ini tamu-tamu bos ku agak sedikit gila. Bagaimana bisa mereka berkunjung sampai dua kali ke restoran kami? Pusing yang ku rasa sejak sore tadi sampai belum berhenti karena terlalu lelah. 
Ku coba menggerakkan tubuh, membengkokkan kepala ke kanan ke kiri, memutar pinggang kesana- kemari. Sepertinya jika aku melakukan sedikit yoga yang santai, akan bisa melemaskan otot-otot ku. Dengan gerakan gontai, ku gapai laptopku. Si putih sudah beberapa hari ini absen bekerja sebagai ‘black hole’ di skype. Dia tidak menghubungiku karena sibuk dengan thesisnya. Aku tak akan mengaktifkan modem ku di laptop, cukup memainkan lagu yang  akan mengiringi  yoga ku dengan santai. Plain White T’s, band kesukaan kita, Hey there Delilah pernah kau nyanyikan ketika kita bertatap muka di dunia maya, di perbincangan skype yang ke-3. Suaramu jelek.



Hey there Delilah
What's it like in New York City?
‘Hey there Shaantje.. Jangan tanyakan kabar New York padaku. Aku jauh dari keramaian New York. I’m in new city, new life, new people.’ 
I'm a thousand miles away
But girl, tonight you look so pretty
Yes you do
Times Square can't shine as bright as you
I swear it's true
‘Shaantje… Bukan jarak yang selama ini aku persoalkan, tapi entah berapa kali ulang tahunku, tahun baru, lebaran, anniversary kita, sudah tak pernah kita rayakan bersama lagi. Kita hanya menerka cinta kita lewat skype. Aku melihat senyummu tak lebih dari 2 megapixel, tak tahu wangi parfummu, tak pernah bisa mencium segarnya wangi shampomu. Dan aku tak bisa meminta pertanggung jawabanmu atas jerawat-jerawat di wajahku, tempat segala rindu ini bersarang.’

Hey there Delilah
Don't you worry about the distance
I'm right there if you get lonely
Give this song another listen
Close your eyes
Listen to my voice, it's my disguise
I'm by your side
‘Shaantje, ada kalanya jarak menjadi masalah yang membuatku ingin membeli maskapai penerbangan. Adalah ketika aku lelah, lelah hanya bisa mendengar suaramu. Ada beberapa hari yang sangat berat untuk ku lalui sendiri. Hari dimana ku rasa hanya usapan tanganmu di kepala ku sambil berkata sabar secara langsung, menjadi vitamin tersendiri dalam kelelahan ini.’ 
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
What you do to me
‘Shaantje, apa batin kita saling terkoneksi?’
Hey there Delilah
I know times are getting hard
But just believe me, girl
Someday I'll pay the bills with this guitar
We'll have it good
We'll have the life we knew we would
My word is good
‘Shaantje, doa ku selalu menyertai perjuanganmu. Pernah kah kau mendoakan ku? Kita sama-sama memulai hidup baru di kota yang berbeda. Hidup baru ku ini telah menguras seluruh nyawa dari hari-hari ku. Ingin rasanya ketika malam tiba, menjelang tidur, aku bercerita tentang hari yang telah kulalui padamu yang sedang berbaring disampingku. Tapi nyatanya, kau tak bisa ku lihat, ku raba, bahkan ku terawang.’
Hey there Delilah
I've got so much left to say
If every simple song I wrote to you
Would take your breath away
I'd write it all
Even more in love with me you'd fall
We'd have it all
‘Shaantje, ketika kata sudah tidak bisa mendeskripsikan bahasa rindu, detik jam dinding berbicara jauh lebih kencang. Kita saling diam. Seperti pedagang kacang yang diacuhkan oleh orang-orang yang lewat, aku kamu kacangin.’
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
‘Shaantje, keheningan mulai bicara.’
A thousand miles seems pretty far
But they've got planes and trains and cars
I'd walk to you if I had no other way
Our friends would all make fun of us
and we'll just laugh along because we know
That none of them have felt this way
‘Shaantje, aku tidak pernah mendengar kata bosan terucap dari mulut mu. Tapi sepertinya tawa teman-temanmu jauh lebih menyenangkan untuk didengar dibanding dengan kata ‘I miss you’ dari ku. Penghargaan yang kita emban sebagai Pasangan Jarak Jauh Bahagia yang kita emban hanyalah semu semata. Mungkin rasa ini cuma aku yang rasa, bahwa aku iri ketika kau berbahagia di sana tanpa aku. Kapankah pernah terpikir olehmu untuk datang menemui ku? Tak usah bilang padaku kapan, agar hal ini bisa menjadi kejutan. Kapan? Atau sepertinya kunjungan ke musium lebih terjadwal untuk kau kunjungi ketimbang aku.’
Delilah I can promise you
That by the time we get through
The world will never ever be the same
And you're to blame
‘Shaantje, kau bilang semakin lama kita melewati semua ini, kita akan semakin kuat. Namun mendadak aku tersambar akan satu hal. Selama ini, aku melewati semua ini, sendirian. Tak ada tangan tempat aku berpegangan, tak ada bahu tempat aku bersandar.’ 
Hey there Delilah
You be good and don't you miss me
Two more years and you'll be done with school
And I'll be making history like I do
You'll know it's all because of you
We can do whatever we want to
Hey there Delilah here's to you
This one's for you
‘Shaantje, mari kita pikirkan ini sekali lagi. Atau lebih tepatnya, biarkan aku berpikir sekali lagi.’
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
What you do to me.
Hening, lagu itu berhenti berputar. Yoga ku telah selesai. Anehnya hari ini tak ada butiran keringat yang bercucuran dari pelipisku, atau bahkan bagian tubuh manapun. Nampaknya kedinginan hati ini sudah membeku ke dalam lapisan kulit. Atau kah ini berarti tak ada kelelahan jika tak usah mempertahankan cinta ini?
Sedang apa kau saat ini? Hari ini Jumat kan? Mungkin saat ini, di sana, kau sedang duduk dalam ruang kuliahmu. Atau kau sedang di perpustakaan. Atau kau sedang berjalan-jalan menikmati indahnya taman Kekunhof, ini musim semi mu terakhir di sana kan?



Banjarmasin, 9 September 2012
dalam #30harilagukubercerita
*Ok, agak aneh ya... ditulis di Banjarmasin, settingnya di New York dan kota di Belanda Hahaha






pic via

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sore kala itu belum senja, tapi sembarut kuning bergradasi sudah menghampar menyelimuti langit. Angin yang berhembus membelai dengan penuh kasih sayang, seolah-olah ingin memberikan ketenangan pada jiwa-jiwa yang diterpanya. Alam tau bagaimana dia harus bersikap, dia bebas dan jujur.
Aku duduk di pangkuan kursi besi panjang. Dihadapanku terbentang sungai yang luas dengan batas langit yang tak ku tau dimana ujungnya. Beriak sungai nampak berkilauan diterpa matahari sore. Suasana saat itu indah, salah satu nuansa sore favoritku. Ku nikmati kebesaran yang Tuhan anugerahkan lewat cantiknya sore saat itu. Ku hirup nafas dalam-dalam seakan takut tak bisa ku temui sore yang indah seperti ini lagi. Kepada sore lah jiwa ku diberikan. Andai bisa, aku ingin menjelma menjadi awan yang nampak bahagia disinari matahari sore.
Hingga kemudian suara ketokan sepatu memecah lamunanku. Kau datang, seperti biasanya, tanpa pernah ku tau kapan kau akan datang kapan kau akan pergi.
“Hallo,” sapamu singkat.
Aku hanya tersenyum. Untuk orang sepertimu, aku tak tau balasan yang tepat untuk kata hallo itu seperti apa, kecuali segaris senyum tak bersuara yang bisa kuberikan. Sejak dulu kala, aku ingin memberitahumu bahwa efek sapaan singkatmu yang berbunyi hallo tak pernah sesingkat 5 huruf yang terabjadkan.
“Segar ya anginnya.”
Aku hanya mengangguk.
Kau lalu duduk di sampingku. Berdua kita menikmati indahnya sore dengan penghayatan masing-masing.
“Jadi kamu benar-benar akan pergi?” aku memberanikan diri bertanya. Dan entah datang keberanian dari mana, ku toleh wajahmu. Sering aku bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan konspirasi alam. Kini aku sudah tau jawabannya. Kau yang duduk santai disampingku, memandang langit luas, sesuatu yang indah di sore favoritku.
Kau hanya mengangguk sambil menggerakkan kepala untuk melemaskan lehermu.
“Sayang ya, coba bisa di sini lebih lama lagi.”
Demi indahnya sore ini, aku menyayangkan kenyataan bahwa tak ada yang abadi di dunia ini. Pun indahnya sore, juga moment keberadaanmu disampingku.
We all go ‘round and ‘round
Partners are lost and found
Looking for one more chance
All I know is,
We’re all in the dance
“Life is like a dance.” Aku bergumam, berharap kau mendengar.
“Heh?”
“Hidup itu ibarat tarian. Takdir itu ibarat musik yang dimainkan untuk kita menari. Rasakan beat-nya, ikuti rithme-nya, dan menarilah sesuai irama.”
“Ngomong apa sih?”
“Sayangnya Tuhan bukan DJ yang bisa kita request lagu apa yang kita inginkan. Kita menari sesuai lagu yang dimainkan. Selanjutnya kita hanya punya pilihan untuk ikut menari atau tidak.”
“Hmmm….”
Night and Day, the music plays on
We are all part of the show
While we can hold on to someone
Even though life won’t let us go
Feel the beat, music and rhyme
While there is time.
“Jika kamu adalah lagu, maka kamu adalah lagu kesukaanku. Saking sukanya, aku akan menari setiap kali mendengar lagu itu dimainkan. Sekarang jika kau pergi, maka aku tak akan pernah mendengar lagu itu dimainkan lagi. Jadi aku tak akan menari, dan tak akan ada tarian semacam itu lagi. Aku bisa apa? ‘Oh, God, please don’t stop the music, please don’t switch that song’ ?”
Perlahan indahnya sore memudar menuju senja. Aku tak pernah tau mengapa sesuatu yang indah harus berjalan singkat. Dayaku hanya sepanjang nafas, tak cukup untuk mengenggam jiwa mu agar tetap bertahan di sini, di sampingku.

Banjarmasin, 12 September 2012
dalam #30harilagukubercerita

via

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Empat jam terdekam mengerjakan psikotest dalam ruangan pengap dengan AC yang ku terka mungkin keluaran negri Panda, sukses membuatku berhalusinasi. Sekeluarnya dari gedung tempat berlangsungnya tes itu, ku hipnotis diriku sendiri bahwa aku berada di surga. Air mancur yang mengucur di depan gedung ini adalah telaga Salsabil, rumput yang terpotong rapi jadi semacam refleksi permadani surga, dan perempuan yang duduk bangku taman itu mungkin adalah bidadari. Ah, ternyata dia Bertha, teman ku yang sudi menungguiku ikut tes ini dan lebih memilih bolos kuliah.
“Gimana?” tanya Bertha sambil tersenyum ketika aku tinggal tiga langkah lagi ke arahnya.
“Nooooooo….” jawabku singkat dengan O yang panjang.
“Gak papa, Say, mungkin ini bukan yang terbaik buat kamu.”
‘Please, Berth, gue udah tau itu sebelum lu kasih tau’, gumamku dalam hati. Ya, sebatas dalam hati, karena gak mungkin menodai senyum Bertha dengan kecemberutan karena kata-kata judes ku itu.
“Kita jalan-jalan aja yuk, Say, refreshing. Kamu mau kemana?”
Aku hanya mengangkat bahu. Baru sekitar 30 jam di Jogja hanya cukup membuatku mengenal kawasan Malioboro dan Jalan Dagen, tempat ku menginap.
“Terserah, Bert. Yang penting bisa jalan-jalan sekalian cuci mata.”
“Kita ke Amplas aja yuk, dekat kok dari sini, jalan kaki juga bisa.”
Kali ini mungkin Bertha yang menghipnotis ku. Aku menuruti saja ajakannya jalan kaki menuju Amplas dan memasrahkan diri berjalan kaki di bawah teriknya matahari.
Kami keluar meninggalkan gedung tempat tes ku tadi berlangsung. Aku dan Bertha berjalan berdampingan sambil mengobrol dan menunduk-nunduk menahan panas dan juga malu. Bingung arah, Bertha menoleh kanan kiri, menebak-nebak sendiri kemana arah menuju Amplas. Tak jauh dari tempat kami berdiri, seorang pria berkacamata berkemeja coklat muda juga nampak celingak-celinguk. Ku toleh dia, dan hanya butuh satu detik untuk ku menyadari bahwa dia tadi juga mengikuti tes yang sama denganku, pria ini duduk dua meja di depanku. Dia melangkahkan sebelah kaki nya menuruni trotoar.
“Nyeberang aja yuk,” usul Bertha tiba-tiba.
Dan kami bertiga pun berjalan beriringan membelah kemacetan di jalan Urip Sumardjo. Kemacetan yang sama sekali asing bagiku, dengan orang-orang asing yang ku potong jalannya, bangunan-bangunan asing di sepanjang jalan, dan seorang pria asing yang berjalan satu meter di depanku. Setelah menyebarangi jalan dia berbelok ke kanan, begitu juga dengan Bertha. Aku yang buta arah hanya mengikuti mereka saja.
Ku perhatikan pria asing itu dari belakang. Badannya tinggi, kurus, dengan pundak yang tidak terlalu lebar. Ku terka umurnya tak jauh beda denganku, mungkin sekitar 23 sampai 25 tahun. Sepintas kuperhatikan wajahnya ketika di ruangan tadi, rautnya nampak lebih tua dari umurnya. Bisa jadi karena dahi nya yang lebar menambah kesan dewasa yang terlalu cepat menghampiri umurnya. Dari cara dia berpakaian, nampak bahwa pria ini memberi kesan mapan. Dia pandai memilih kemeja dan celana yang pas dengan bentuk tubuhnya. Sepatu? Aku langsung menundukkan kepala ke arah sepatunya ketika teringat penilaian standarku terhadap sepatu pria. Andai ini audisi, pria ini lolos ke tahap kualifikasi selanjutnya. Sepatu pantofel dengan hak rendah berayun gagah mengikuti goyangan kaki si pemakai, ukurannya tak jauh beda denganku.
Entah sudah berapa jauh kami berjalan. Aku bingung kenapa Bertha terus membawa ku berjalan kaki, tanpa berinisiatif mengajakku naik becak atau memanggil taksi saja dan langsung minta diantar menuju Amplas. Tapi hal itu tak menjadi masalah bagiku lagi ketika Bertha naik ke dalam Halte Trans Jogja. Setelah menunggu sekitar dua menit, Bus pun datang. Aku dan Bertha masuk beriringan, dan pria itu pun berdiri tepat di belakangku ketika masuk.
Di dalam, aku dan Bertha duduk bersampingan, sedangkan pria itu duduk di seberangku. Semenjak di gedung tadi hingga saat ini, tak sekalipun pria itu menegurku. Mungkin dia sama sekali tidak menyadari bahwa kami baru saja mengikuti test psikotest beasiswa yang sama, dan sama-sama tidak lulus.
“Say, cowok yang pakai baju coklat ini tadi ikut tes yang sama dengan kamu kan?” tanya Bertha setengah berbisik.
“Iya,” jawabku sambil mengangguk pelan.
Kulirik dia, mencuri-curi dari sudut mataku, mengawasi geriknya yang mungkin saja merasa bahwa sedang jadi bahan obrolah di antara kami. Ternyata dia sama sekali tidak peduli dengan keadaan di sekitar, nampak asik dengan BB dalam genggamannya.
“Cakep, ya, Say.”
Aku terkejut mendengar ucapan Betha barusan. Tak kusangka dia juga memperhatikan pria ini.
“Mas,”
Aku terkejut, walaupun sudah terbiasa dengan hal yang akan terjadi ini, Bertha mulai mengeluarkan jurusnya.
“Kamu tadi juga ikut tes bareng dia, kan?”
Bertha menunjuk ke arah ku. Seketika aku kikuk. Aku tak biasa beramah-tamah atau pun sok akrab dengan orang asing. Namun ternyata pria itu mengangguk. Aku bisa bernafas lega dan bisa memusut dada. Tapi memusut dada enggan kulakukan saat ini, hanya tak ingin dia tahu aku sempat tegang berhadapan dengannya.
“Mau kemana?” tanya Bertha nampak lancar dengan aksinya.
“Pulang.”
“Pulang kemana?”
“Ke rumah, dekat Bandara.”
“Oh, dekat sana. Eh, kamu tau gak tempat yang jual oleh-oleh dekat bandara? Tapi yang murah. Temanku ini dari Banjarmasin, dia mau bawa oleh-oleh tapi biar gak repot sekalian aja belinya dekat Bandara.”
Aku hanya tersenyum, mendukung semua akting yang dilancarkan Bertha. Aku yang menginap di Malioboro, pusat oleh-oleh, sama sekali tak berniat berbelanja oleh-oleh seperti apa yang dikatakan Bertha.
“Ada sih, Mbak, toko di dekat bandara yang menjual aneka souvenir.”
“Oh, ya. Di daerah mana?”
Kedua orang ini kemudian terlibat pembicaraan mengenai alamat yang sama sekali tidak ku tau. Entah jalan apa yang mereka perbincangkan. Pria itu mencoba menggambarkan peta jalan di udara. Tangannya melukis garis transparan yang tak ku mengerti.
“Gak mudeng aku, mas. Bisa minta no.Hp mu? atau pin aja deh. Biar nanti kalau bingung aku bisa langsung nanya kamu aja.”
Nampaknya Bertha sukses 100% dengan misi nya. Mereka berdua lalu bertukar no.Hp dan pin BB. Aku hanya diam melihat mereka berdua. Ku tatap Bertha, gadis ini selalu berhasil dengan trik nya berkenalan dengan laki-laki. Untungnya tak perlu waktu lama berada dalam situasi canggung ini. Bus ini berhenti di suatu halte dan Bertha pun mengajakku turun. Berdua kami turun meninggalkan pria itu. Sepintas dari pembicaraan mereka tadi, kudengar dia bernama Abdi
“Kapan lagi, Say, bisa ketemu dia. Aku di sini kan cuma tinggal sebulan lagi, say. Kenapa tadi aku gak bilang ‘So call me, maybe? ya,” Kata Bertha ketika kami akhirnya menapakkan kaki di lobi Amplas.
“Terserah kamu lah, Berth.” Komentarku singkat.
Ku ingat-ingat, tak sekalipun pria itu melirikku ketika di dalam bus tadi, kecuali ketika Bertha mengatakan bahwa aku ingin mencari oleh-oleh di dekat Bandara. Aku pun juga tak menyapa dia duluan. Apakah dia merasa bahwa sedang aku perhatikan? Apakah dia takut jika ku perhatikan seperti tadi? Sayangnya kami tidak sempat berkenalan. Dan mungkin dia hanya mengenalku sebatas Say. Sayang? Sayur? Say, Sayonara? Atau mungkin sempat terpikir olehnya bahwa aku adalah pacar Bertha.

Banjarmasin, 27 September 2012
dalam #30harilagukubercerita


via

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Saat itu pukul satu pagi, Jenny sudah siap berlayar menuju alam mimpi, tapi dering sms yang berbunyi membawa nya kembali ke daratan dunia nyata. Sebuah sms ke-14 masuk dari orang yang sama.
Jen, besok ikutan ngumpul di Pizza Hut ya, jam 4 sore. Si Dina Ultah.
Sekejap rasa kantuk hilang dari mata Jenny. Tanpa membalas sms itu, Jenny meletakkan hp secara sembarangan di meja kecil yang terletak di samping kiri ranjangnya.
“Heh! Perempuan itu lagi,” gerutu Jenny.
Dalam diam, langit-langit kamar yang tak berdosa dipandanginya seolah-olah menuntut penjelasan tentang sosok Dina. Dikepalanya berkumpul setan-setan kecil yang bergerombol menawarkan jasa untuk melenyapkan Dina. Tapi sepertinya langit kamar terlalu polos mengerti apa yang bergelayutan dipikiran Jenny, tak ada penjelasan yang diberikan.
***
Jenny baru datang ke PH jam 5 kurang 5 menit 5 detik. Ada sekitar 5 orang yang telah berkumpul disana. Dilihat dari formasinya, nampaknya semua undangan sudah datang. Duduk paling ujung meja ada Dina, si empunya pesta. Di sebelahnya ada Dani, orang yang sudah mengsmsnya tadi malam. Kemudian duduk di seberang mereka berdua 3 orang teman pria yang lain; Bram, Pras, Tim.
“Akhirnya datang juga,” celutuk Dani.
Jenny tak menyahut, ekspresinya datar. Dia berjalan ke arah meja dan menerka kursi kosong di sebelah Dani telah disiapkan untuk tempat duduknya, kemudian duduk di sana tanpa permisi.
“Kok lama sih, Jen?” tanya Dina.
“Tadi kerjaan aku di kantor belum selesai, Din, jadi gak bisa datang cepat.” Jawab Jenny dengan berbohong. Jauh dilubuk hatinya Jenny enggan untuk berhadir ke tempat ini karena sedang berusaha untuk jaga jarak dengan Dina.
“Menunya udah dipesan buat kamu, Jen. Minumnya orange jus, ya? Dani bilang kamu suka orange jus.”
Jenny menoleh ke arah Dina dan tersenyum sebagai bentuk terima kasih. Tak sengaja matanya menangkap basah tangan Dina yang menggandeng tangan Dani di bawah meja. Jenny sontak mematung dalam hitungan detik. Dalam memorinya terputar kembali saat ketika suatu senja Dani duduk disebalahnya bermain game.
“Dan, Dina ini kok galau begini yah di twitter?” tanya Jenny sambil memperhatikan satu-persatu isi timeline Dina.
“Galau kenapa, Din?”
“Ya, galau. Coba kamu baca, kayaknya dia suka sama seseorang tapi nomention gitu deh.”
“Sama siapa? Sama aku ya? Hehehe,” Dani tertawa cekikikan sambil terus asik bermain di laptopnya.
“Ya kali.” Jenny mendadak merasa darah disekujur tubuhnya beku. Kehangatan yang biasa nya ada ketika dia bersama Dani yang sudah hampir setahun dia kenal tiba-tiba menjadi dingin yang terasa asing. “Emang dia udah kamu apain aja sih?”
“Gak aku apa-apain, Jen. Biasa aja kok, kayak aku ke kamu aja lah.”
“Heh? Berarti lumayan akrab dong?”
“Dina kan orangnya baik banget, Jen. Jadi gampang akrabnya.”
“Udah ngapain aja?”
“Gak ngapa-ngapain, jalan juga belum pernah. Cuma BBM-an doang.”
“Ciyeee, BBM-BBM-an. Aku sih ya gak punya BB ya, jadi gak bisa ikut-ikutan BBM-an. BBM-an apa aja?”
“Ah, biasa. Si Dina suka cerita-cerita gitu?”
“Ciyeee curhat-curhatan.”
“Apaan sih, Jen? Kalo orang baik kita tuh gak enak kalo gak dibalas baik.”
“Ya Dina cantik sih, baru kenal 4 bulan langsung bisa akrab aja.”
“Hahaha, mubazir Jen kalo cewek cakep dicuekin.”
“Tuh, kan…” Jenny mengangkat telunjuk kanannya dan langsung menunjuk ke wajah Dani.
Dani yang semula asik bermain game mendongak. Jenny setengah kaget melihat reaksi Dani tersebut. Ibarat satu banding seribu, sangat jarang perhatian Dani teralih ketika bermain game. “Aku gak ada apa-apa kok sama dia, Jen.”
Mendengarnya Jenny jadi segera menurunkan telunjuknya dan merasa kikuk sendiri. Kikuk yang dia rasakan saat itu tak berbeda jauh dengan yang dia rasakan saat ini. Tapi ada rasa yang sedikit berbeda, semacam rasa perih di atas luka yang diperas jeruk purut.
Dengan sedikit mencuri keberanian, Jenny mengangkat wajahnya dan menatap Dani. Dani sendiri sedang asik berbicara sambil tertawa dengan Pras yang duduk persis dihadapannya.
‘Katanya gak ada apa-apa, tapi nyatanya tangan bergandengan di bawah meja. Apa maksudnya kemaren bilang gak ada apa-apa? I don’t trust people but the fact.’

Song : That Girl - Noissette

Banjarmasin, 30 September 2012
dalam #30harilagukubercerita

via

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Bibir mungil itu mengerucut dan menjulurkan daging lunak berwarna merah dengan serabut putih di atasnya. Seorang pria tertawa dengan bahu terguncang naik turun, menertawakan tingkah perempuan yang berada di hadapannya. “Kamu Lucu,” kekehnya.

Mata perempuan itu seketika menyipit dan menatap tajam ke arah pria itu. “Bisa tidak sehari saja dia tidak mengganggumu? Apa perlu aku datang ke ruanganmu dan melabraknya?”

“Hahaha, diamkan saja dia. Nanti pasti dia akan menjauh dengan sendirinya.”
Perempuan itu terdiam. Sepiring spagetti tak lagi menarik perhatiannya sejak beberapa menit yang lalu ketika pria itu menceritakan harinya di kantor. Garpu stainless menancap tegak lurus di tengah tumpukan spagetti yang masih menggunung.

“Apa harus aku ungkapkan tentang hubungan kita yang sebenarnya pada dia? Hanya pada dia saja. Dia pasti bisa tutup mulut, kan?”

“Tunggu hingga enam bulan lagi saja. Lebih baik kamu mulai membiasakan diri dari sekarang. Dia tidak akan cukup menggoda ku.” Dicubitnya pipi gadis yang ada dihadapannya itu.

“Bim, Aku telat. Harusnya sudah datang bulan sejak tiga hari yang lalu.”

“Hah? Oh, baru tiga hari, kan?”

“Tapi aku tidak merasakan kram perut beberapa hari terakhir ini. Biasanya perutku kram seminggu sebelum datang bulan.”

Pria itu menunduk dan memainkan es batu dalam minuman colanya dengan sedotan. “Baguslah, berarti kita berdua subur.”

“Bukan salahku, ya. Kau sudah aku peringatkan sejak awal.”

“Hahaha. Berarti aku sudah menjadi pria sejati.”

“Kalau semua ini baru kita buka enam bulan lagi, berarti perutku ini akan sangat besar saat resepsi nanti. Pasti perempuan itu akan sangat kecewa karena pangerannya dia kira menghamili perempuan di luar nikah. Kenapa bisa terjadi sekarang, ya? Kalau sudah terjadi seperti ini, serapat apapun kita menutupi rahasia, pasti akan ketahuan kalau kita sudah berbohong soal pernikahan kita.”

“Kau sudah mengatakan hal ini pada ibu ku atau ibu mu?”

“Belum. Aku masih belum yakin juga.”

“Menurut perkiraan mu, berapa usia nya sekarang?”

“Mana ku tahu. Bukannya kamu lebih tahu tantang hal semacam ini.”

“Kalau ini memang benar, kita bisa terancam batal membeli rumah karena tabungan kita akan terkuras dengan denda yang harus kita hadapi.”

“Apa maksudmu? Di perut ku ini sedang terkandung nyawa seorang manusia. Kau jangan asal bicara. Kita menikah secara sah menurut agama. Anak ini anak halal, Bim. Kita hanya tidak mematuhi etika perusahaan tentang hubungan antar karyawan ”

Bima menatap dalam ke arah perempuannya. Diam tanpa kata.

“Biar aku saja yang mengalah. Jika perut ini membesar nanti, maka aku lah yang akan menanggung malu jika tetap bertahan di sini. Lagipula denda yang harus kita keluarkan bisa jauh lebih kecil. Dan juga aku tidak ingin melihat lebih lama lagi wajah anak baru terang-terangan mendekatimu.”

Mereka berdua memasuki lift yang turun dalam keadaan kosong. Bima memencet tombol dua kemudian empat.

“Aku harus lembur lagi malam ini. Mungkin baru bisa pulang di atas jam sepuluh malam.”

“Hmmm.. Tapi ingat, jangan pernah sesekali kamu menawarkan diri untuk mengantarkan dia pulang ke rumah, ok?”

“Ok,” Jawab Bima singkat sambil mengelus perut Perempuannya yang berdiri di samping kirinya, dari samping, dengan tangan kanannya.

Pintu lift terbuka, perempuannya segera beranjak keluar sambil berjalan menoleh dan melambaikan tangan ke arah Bisma.


Banjarmasin, 19 April 2014


via

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
        Aku mungkin hanya punya sedikit waktu bertemu denganmu setiap minggunya, atau bahkan setiap bulannya. Bun, andai burung-burung yang beterbangan di angkasa ini bisa menyampaikan rinduku padamu, akan kutangkap mereka satu per satu menggunakan apapun agar bisa kubisikkan betapa aku sangat ingin bersamamu setiap saat. Memberikan pundakku, bahuku, tanganku, atau bagian tubuh yang manapun agar kau bisa bersandar dengan nyaman setelah melewati hari-hari beratmu. Tapi percayalah, kau hanya perlu lebih bersabar sedikit lagi hingga hal yang lebih realistis untuk bersamamu itu terwujud.

Hari itu kau mengagetkan ku dengan telponmu di pagi buta, kala aku sedang menyusun barisan-barisan mimpi yang indah. Kau hanya cukup tahu mimpi itu indah, detail biarkan aku yang simpan. Kau menyahut ‘Halo’ ku dengan isakan teriakan yang tertahan.

“Ay,” kau terisak.

“Kenapa, Bun?”

Aku perlu menunggu beberapa detik lamanya, mendengarkan kau terus terisak menangis di seberang sana, hingga akhirnya kau susah payah bersuara mengucapkan hal yang terdengar sama sekali berat untuk kau ucapkan.

“Didi, Ay....  Didi udah pergi, dia udah pergi, dia udah ninggalin Bun selamanya.”

“Innalillahi….” Selanjutnya aku diam saja, ingin mendengarkan dan membiarkan kau menangis di ujung telpon sana.

“Ay, kamu pulang ya. Sekarang udah gak ada Didi lagi, aku…,” dan kau pun kembali menangis.

“Sabar, ya, Bun. Besok pagi kalo aku dikasih izin pulang, aku pulang, ya. Kamu sabar ya, jangan nagis lagi, ok? Insya Allah Didi dikasih Tuhan tempat yang tenang di sisi-Nya.” Aku tahu kata-kataku barusan mungkin sama sekali tak akan menghilangkan kesedihanmu karena kehilangan Didi, tapi kuharap itu bisa mewakili kehadiranku sementara ini di pikiranmu.

Terlintas dalam benakku sosok Didi yang begitu disayangi olehnya. Indi, teman baiknya semenjak SMP hingga saat ini. Satu-satunya teman yang katanya tahu semua cerita tentang dirinya dari A-Z, semua cerita sedih hingga senang, bahkan semua lelaki yang pernah ditaksir olehnya. Ya, dia sendiri yang berkata seperti itu. Bagi Bun ku, Didi sudah bagaikan dopping yang sangat memabukkan. Bagaikan obat yang harus segera diminum ketika sakit, dia sesegara mungkin harus curhat pada Didi ketika sesuatu yang baik atau buruk menimpanya. Bun ku tidaklah kekanak-kanakan dengan berbagi segala hal pada Didi, tapi dia memerlukan Didi untuk menyangganya berdiri. Didi jauh lebih bisa menguatkan Bun ku daripada diriku sendiri.

Didi dan aku pada awalnya bukanlah dua orang yang saling akur. Dulu kupingku seringkali panas mendengar dia berkata pada Bun ku, ‘Lo gak boleh merit sebelum umur 25. Ok, Darl? Masa zaman gini lo mau kawin cepat-cepat’. Susah payah aku meraih cinta Bun ku, tapi Didi dengan bentengnya melindungi Bun ku ketika ingin ku ikat dia dengan halal secepatnya. Tapi Didi justru satu-satunya orang yang paling bersemangat ketika Bun ku melewatkan hari pertamanya di umurnya yang ke-25.

“Ayo, Darl! hari ini lo mau ke KUA, gue temenin!” Aku kaget mendapati reaksi Didi saat itu. “Bray, sekarang lo udah gue kasih lampu hijau kapan pun lo mau ngelamar dia, nyulik dia buat kawin lari pun gue ikhlass. Kalo gue cowok, gue aja yang jadi saksi nikahan lo. Hahaha.”

“Lo kali, Di, yang maruk pengen kawin. Sana, mending cari pacar lagi biar ntar pas gue kawinan sama Bun ku lo udah ada yang digandeng.”

“Sembarangan lo. Eh, teman sekantor lo yang kemaren itu udah jomblo nggak? Mau deh gue bawa gandengan pas kawinan kalian kalo dia yang ngajak. Hihihi.…” Aku ingat, saat itu dia menutup mulutnya ketika tertawa. Itu adalah momen untuk yang kesekian kalinya dia menanyakan tentang teman sekantorku yang ditaksirnya.

Hingga pernikahanku telah resmi dengan Bun ku, Didi tetap menjadi orang yang pengaruhnya dalam pikiran Bun ku lebih dominan daripada aku. Bun ku beralasan bahwa sebenarnya pribadi Didi dan diriku tak jauh berbeda. Itulah yang membuatnya cepat jatuh cinta padaku ketika dulu cinta kami baru saja dimulai. “Ay, bagiku kamu itu udah kaya teman lama yang aku kenal. Aku merasa nyaman sama kamu, sesantai aku bersama Didi. Aku nggak pernah ragu dengan hubungan kita, seyakin persahabatan aku dan Didi.”

Ya, dan pada akhirnya aku dengan lapang dada menerima semua pengaruh Didi dalam kehidupan kami. Saat aku harus terjerat kontrak kerja kurang ajar ini, yang mengharuskan aku berpisah kota dengan Bun ku selama setahun di awal penikahan kami, Didi lah yang selalu setia menemani Bun ku. Bahkan di saat terberat yang harus dilalui Bun ku, ketika aku tak bisa ada di sisinya kala dia mengalami keguguran. Didi dengan kasihnya menemani Bun ku saat itu, dia yang selalu meyakinkan Bun ku agar jangan marah karena aku tak bisa menemaninya di saat-saat yang menyedihkan baginya itu. Didi juga yang lebih sering mengomeli aku agar segera melepaskan kontrak yang kembali ditawarkan kepadaku dan merekomendasikan pekerjaan baru bagiku.

“Kalian berdua ini aneh, deh. Dulu pas masih pacaran nggak sabar pengen hidup bareng. Sekarang pas udah sah, eh malah hidup pisah-pisah gini. Gimana sih? Gue itu sebagai teman baik kalian, orang yang mungkin sering ikut campur dikehidupan kalian, cuma pengen lihat kalian itu hidup bersatu layaknya suami istri yang bangun pagi bareng, tidur malam bareng.”

“Inikan diluar rencana gue, Di. Gue juga ambil kerjaan itu biar bisa ngasih masa depan yang lebih cerah buat Bun ku.”

“Iya, Di, Ay gue juga gak lama-lama kok kontraknya. Jalanin aja, hidup gak usah terlalu direncanain, ntar nggak seru.”

“Capek gue ngomong sama lo, Darl. Atau lo urus buat resign aja deh, biar lo ikut sama dia.”

“Emang lo rela, Di, pisah sama gue? Jadi sekarang lo udah rela berkorban biar gue bisa bersatu sama Ay gue, heh?”

“Gue itu cuma pengen liat kalian bersatu, bareng. Sejak tiga bulan yang lalu, baru kali ini gue liat kalian bareng. Gimana nggak pilu hati gue.”

Sore itu langit mendung dengan suramnya, mungkin berat beban awan di langit menahan hujan yang sudah ingin turun tapi tak kunjung turun. Didi telah terbaring tenang ditempat terakhirnya beristirahat. Bun ku duduk dipinggiran makamnya ketika orang-orang sudah pergi dari pemakaman. Disampinganya juga duduk Kayla, Alita dan Gina. Yang aku tahu mereka berempat adalah teman baik ketika Bun kuliah dulu. Masing-masing dari mereka menangis, hanya Bun ku saja yang tak menangis.

“Gue benci cara lo nyuruh gue dan Ay gue bareng kayak gini, Di. Gue tahu lo pegen banget liat kita bareng seutuhnya suami istri, tapi nggak dengan cara kayak gini. Gue benci, Di!”

Aku hanya bisa beristigfhar mendengar perkataan Bun ku.

“Lo kenapa sih gak pernah nurut sama gue? Udah gue bilang jangan keseringan makan junkfood, jangan makan makanan sembarangan. Lo udah tahu punya gejala penyakit kanker tapi makan masih aja sembarangan. Pake acara mau nge-MC acara ultah anak gue ntar di KFC, lo mau anak gue penyakitan kaya lo juga? Sembarangan lo. Sekarang lo udah nggak mungkin nge-MC acara ultah anak gue lagi, Di.…” Tangis Bun ku akhirnya pecah, membahana diantara kesunyian komplek kuburan.
            
           Aku menghampirinya, memintanya untuk berdiri dan menjauh dari makam. Dia dengan lembek menurut saja. Kami perlahan pergi meninggalkan makam Didi dan semua orang yang masih tersisa di sana. Langit pun akhirnya menumpahkan hujannya.

“Ay, Didi suka banget hujan dikala sore kaya gini. Dia suka banget jalan-jalan pas malam waktu habis hujan. Dulu pas kuliah dan ngekos bareng, dia sering ngajakin Bun buat jalan keluar, jalan kaki, jalan-jalan sampe kita capek, sampe malamnya kita bisa tertidur pulas karena capek. Sekarang pasti dia tertidur dengan pulas juga kan, Ay?”

Aku hanya bisa menoleh tanpa bisa mengeluarkan komentar apa pun. Kubiarkan saja dia meresapi kepergian Didi dalam keheningan yang khusyuk, agar lebih bisa merelakannya dengan sendirinya.

’Bye, Di, sampai ketemu di kehidupan selanjutnya.’


Banjarmasin, 25 Desember 2012

via


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Wangi campuran rempah-rempah berhembus segar mengelilingi dapur. Nisa dengan sangat hati-hati memasukkan irisan kentang dan wortel ke dalam panci yang berisi beberapa potong ayam dengan kuah yang mendidih, sambil sesekali melirik catatan resep Soto Banjar yang dia tempelkan di dinding dapur. Dia sudah tidak terlalu ingat bagaimana rasa dan resep asli masakan yang sedang dia masak sekarang. Seingatnya, rasa itu terakhir kali menempel di lidahnya sekitar empat tahun yang lalu, Ramadan terakhir di kota kelahirannya. Ingatan tentang rasa itu kalah bersaing dengan Soto Surabaya dan Betawi yang sering dia beli di warung soto di seberang rumah. Hari ini pertama kalinya dia mencoba sendiri membuat Soto Banjar untuk lauk berbuka puasa nanti.

”Mama, nanti di Banjar banyak Soto Banjar?” tanya Pandu, anak laki-laki Nisa yang baru saja masuk TK. Dia sedang duduk tengkurap di lantai dapur sambil menggambar sebuah panci dan kompor gas yang tidak terlalu jelas bentuknya di atas kertas buku gambar.

”Iya, sayang.”

”Mama, yang bikin sotonya nenek Pandu sama kayak nenek Dwi yang jualan di muka rumah?”

Nisa tak menjawab apa-apa. Dia sudah selesai dengan pekerjaan mencampur semua bahan dan bumbu ke dalam panci. Didekatinya Pandu yang masih asik menggambar. Kali ini sudah ada sesosok perempuan berambut panjang dengan dua titik mata dan garis bibir melengkung tersenyum di dekat gambar panci dan kompor.

”Mama, ini mama lagi masak SO-TO-BAN-JAAR. Hahaha,” Pandu mengeja nama masakan ibunya sambil tertawa. Mulut kecilnya sengaja ia buat membulat. Dia tertawa sendiri, merasa jenaka akan sikapnya tersebut.

”Gambar Pandu mana?”

Pertanyaan singkat dari Nisa langsung mengomando Pandu menggambar sosok yang lebih pendek dengan rambut keriting tepat di sebelah gambar Nisa.

”Ini gambar Pandu,” dia diam sejenak untuk menyelesaikan gambar sepatu di kaki ’gambar Pandu’.

”Sekarang Pandu mau gambar Papa.”

Tangan kecil yang menggenggam erat pensil itu kembali menggoreskan imajinasi nya. Tak lama kemudian sosok Papa hadir disebelah gambar Pandu, lengkap dengan kemeja lengan pendek dan celana panjang seperti yang biasa dia kenakan ketika bekerja.

”Pandu, nanti Papa nggak ikut kita pulang ke Banjar.”

”Kenapa Papa ditinggal, Ma?”

”Papa jaga rumah. Nanti rumah kita kosong, siapa yang jaga rumah kalau papa juga ikut?”

”Ada Pak Hansip Parmin, Ma, yang jagain semua rumah di komplek ini.”

Nisa hanya bisa tersenyum mendengar celotehan Pandu, kemudian dia refleks mencium pipi tembem yang selalu tampak merah itu. Setelah dicium sekali, Pandu mengelak ketika Nisa nampak ingin mencium pipi nya untuk yang kedua kali. Wajahnya seketika berubah menjadi cemberut yang dibuat-buat, tapi masih saja menggemaskan dengan mulut nya yang manyun. Dia tak pernah tahu gemuruh apa yang mengiringi kehidupannya bahkan sebelum dia lahir.

”Kalau Papa nggak ikut, nggak seru. Nggak ada yang gendong Pandu.”

”Tapi, kan, di sana ada kakek dan nenek. Ada om, tante, dan sepupu Pandu juga banyak.”

”Seberapa banyak? Ba-nyak?” ucap Pandu kembali antusias.

Tidak sulit bagi Nisa membangkitkan kembali semangat Pandu. Jagoan kecilnya ini hanya perlu dicarikan penggantinya saja jika dia ’kehilangan sesuatu’.

”Mama, Pandu mau menggambar kakek Pandu, nenek Pandu, om Pandu, tante Pandu, sepupu-sepupu Pan-Du.” Tangan kecil yang tak pernah diam ketika melihat pensil dan alat tulis lainnya itu kembali siap menari di atas kertas gambar. ”Tapi Pandu belum pernah lihat mereka.” Pandu mendelik menghadap Nisa dengan mata yang melotot penuh tanya.

*****

Dua hari sebelum lebaran, Nisa dan Pandu berangkat ke Banjarmasin. Pesawat yang ditumpangi Nisa dan Pandu mendarat dengan mulus di bandara Syamsudin Noor. Pandu sangat menyukai pengalaman pertamanya naik pesawat. Sepanjang penerbangan dia tak henti-henti mengomentari apa saja yang dia lihat. Di sana, sudah ada yang siap menjemput Nisa dan Pandu, Rahman, kakak tertua Nisa. Rahman membawa dua orang anak perempuannya. Anak pertama berambut panjang, diikat satu kebelakang, bernama Rika. Anak kedua nampak lebih muda dari pada Rika, berambut panjang namun dibiarkan tergerai, bernama Rita. Seperti biasa, Pandu bisa dengan mudah akrab dengan kedua sepupunya yang baru dia kenal itu.

Sekitar satu jam perjalanan dari bandara, mereka sudah tiba di rumah orang tua Nisa. Sebuah rumah berdinding kayu, bercat biru, berdiri kokoh membelakangi sungai.  Rumah itu sama sekali tak mengalami perubahan sejak terakhir kali Nisa berada di sana. Dari dalam rumah keluar seorang pria tua yang mengenakan sarung dan baju koko. Nisa yang melihat pria itu langsungmenghamburkan pelukannya.

”Abah,” ucap Nisa pelan. Mengekor dibelakangnnya Pandu yang juga turut memeluk abah walau hanya sebatas pinggangnya saja. Sedangkan abah hanya membalas pelukan Nisa, tanpa ada kata yang dia ucapkan. Rasa rindu yang mereka rasakan tertelan oleh rasa bahagia atas datangnya hari itu.

Abah kemudian merangkul Pandu dan menggiringnya masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu ternyata sudah berkumpul seluruh anggota keluarga yang lain. Ada Raisa, istri Rahman, dan Mahmud, si bungsu yang kini memiliki postur tubuh paling tinggi di antara mereka. Terduduk di sofa tamu, mama. Dia hanya diam, menatap ke arah Nisa dengan tatapan kosong. Nisa segera bersimpuh dihadapan mamanya dan mencium kedua telapak tangannya. Tak ada respon dari mama. Nisa mendongak, ditatapnya wajah mama dengan penuh penyesalan.

’Mama ikam kana penyakit stroke, wayahini ngalih bepandir. Bulik gin ikam, nak, ai, hari raya ini. Kasian mama ikam. Kada lagi pang inya ma usir ikam,’* kata abah melelui telpon di hari pertama puasa Ramadan.

Nisa sudah tak pernah menginjakkan kaki lagi dirumah ini semenjak keinginannya untuk menikah ditentang oleh ibu. Ibunya bersumpah tidak akan memberikan restu pernikahannya dengan Toni sampai kapanpun. Ibu sangat tidak menyukai Toni yang masih pengangguran namun sudah meminta Nisa untuk menikah dan ikut tinggal bersamanya. Entah apa yang terjadi pada Nisa saat itu, dia lebih memilih Toni dan nekat pergi meninggalkan rumah. Sejak saat itu tidak pernah ada komunikasi yang terjalin antara Nisa dan ibunya. Hanya ayah yang kadang-kadang menelpon sekedar untuk menanyakan kabarnya. Kedua saudara laki-lakinya sesekali mengunjungi Nisa jika mereka sedang berada di Jakarta.

”Ma, nenek kenapa? Nenek kok diam kayak orang bisu?” Pandu berdiri di belakang Nisa tanpa berani mendekati neneknya.

”Nenek sakit, sayang. Sakit stroke, jadi susah ngomong.”

”Kenapa, Ma?”

”Nenek kena serangan stroke. Pandu yang manis, ya, sama nenek. Sana salim dulu tangan nenek.”
Pandu segera mencari tangan kanan sang nenek dan menciumnya. Tanpa disangka, seketika itu juga ibu menarik tangan Pandu dan memeluknya. Rorongan tangis tanpa irama yang jelas keluar dari mulutnya. Didekapnya Pandu dengan pelukan yang kencang hingga Pandu sendiri ingin melepaskan pelukan itu. Sedikitpun ibu tak melonggarkan pelukannya. Dipeluknya Pandu sekencang-kencangnya, diiringi tangisan yang semakin menjadi.

”Hanhu.” Hanya itu kata yang keluar dari mulut ibu.
Nisa tak kuasa melihat kejadian itu. Dia menelungkupkan kedua telapak tangannya menutupi wajah, menangis dalam diam. Dari belakang, tangan ayah merangkul bahu Nisa. Pelan, suara ayah juga terdengar terisak. Hari itu, Nisa merasa seperti ada beban yang baru saja tercabut dari pundaknya. Perasaan lega ketika melihat ibunya memeluk Pandu dengan erat.

’Mama, Pandu, kok, nggak punya nenek kayak neneknya Dwi?’ Seringkali Pandu bertanya seperti itu setiap kali melihat nenek Dwi menggendong Dwi.

*****
Pandu tertidur pulas di tempat tidurnya. Hari ini Nisa mendapat kabar bahwa Pandu mendapat nilai terbaik untuk pelajaran menggambar. Selembar kertas gambar dengan nilai A+ terletak di atas dada Pandu yang sedang tidur. Nisa mengambil kertas itu dan memperhatikan satu per satu sosok yang dia gambar. Sebuah gambar satu keluarga besar. Pandu berdiri di tengah diapit oleh kedua orang tuanya. Di sebelah Nisa berdiri kakek dan nenek. Pandu menggambar nenek dengan rambut keriting yang sama persis dengan rambutnya. Selain itu gambar Rahman beserta keluarganya dan Mahmud turut menghiasi gambaran Pandu akan sosok keluarga besar yang selalu membuatnya iri ketika melihat teman-temannya memiliki anggota keluarga yang lengkap. Dengan pelan dan hati-hati Nisa mengoleskan lem pada kertas itu dan  menempelkannya di dinding samping ranjang Pandu.

via


*’Ibu kamu terserang penyakit stroke, sekarang sulit berbicara. Pulanglah kamu, nak, hari raya kali ini. Kasihan ibumu. Dia tidak akan mengusirmu lagi.’


Banjarmasin, 1 Agustus 2013
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me


I love a cup of a good coffee with a good friend and good conversation.

Follow Us

Labels

cerpen feedback1 feedback2 Homemade Food Jurnal Melepaskan Local Cafe Singapore Travel

Populer Post

  • Rumpi Cangkir Kopi | Prolog
    Di lantai dasar suatu gedung perkantoran bersama, di suatu kota cukup besar, terdapat sebuah kantin karyawan yang menyediakan kopi kelas c...
  • Keluarga Impian Pandu
    Wangi campuran rempah-rempah berhembus segar mengelilingi dapur. Nisa dengan sangat hati-hati memasukkan irisan kentang dan wortel ke dalam...
  • Aku Bisa Apa
    Sore kala itu belum senja, tapi sembarut kuning bergradasi sudah menghampar menyelimuti langit. Angin yang berhembus membelai dengan penuh ...
  • Best Friend Of Her
            Aku mungkin hanya punya sedikit waktu bertemu denganmu setiap minggunya, atau bahkan setiap bulannya. Bun, andai burung-burung yang...
  • Rumpi Cangkir Kopi #2
    “Oke, langsung kita mulai saja, ya. Nanti siang saya ada janji lunch dengan calon tenant baru.” Robert menarik kursi yang berada di ujun...
  • Rumpi Cangkir Kopi # 6
    Elona, yang diletakkan di sudut meja kerja Ellie, menjadi saksi bisu keputusan perempuan itu untuk menjadikan ruang kerjanya yang berukuran...
  • Delilah Menjawab
    Kulirik jam dinding yang tergantung di sebelah kanan pintu, jam 10 malam. Nampaknya malam ini aku tidur lebih cepat saja, hari ini tamu-ta...
  • Tips Liburan Ke Singapura
    Menikmati suasa malam di Merlion Akhir Juli lalu, di sela kepenatan aktifitas fisik  dan batin (hahaha) saya menyempatkan diri l...
  • Say....onara
    Empat jam terdekam mengerjakan psikotest dalam ruangan pengap dengan AC yang ku terka mungkin keluaran negri Panda, sukses membuatku berhal...
  • Untitle
    Bibir mungil itu mengerucut dan menjulurkan daging lunak berwarna merah dengan serabut putih di atasnya. Seorang pria tertawa dengan bahu t...

Blog Archive

  • ►  2020 (2)
    • ►  Desember (1)
    • ►  September (1)
  • ►  2019 (35)
    • ►  Agustus (31)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (3)
  • ►  2018 (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ▼  2016 (7)
    • ▼  Juli (7)
      • Delilah Menjawab
      • Aku Bisa Apa
      • Say....onara
      • Perempuan Itu
      • Untitle
      • Best Friend Of Her
      • Keluarga Impian Pandu
  • ►  2014 (1)
    • ►  Juni (1)
  • ►  2013 (1)
    • ►  November (1)

Blog Penulis

  • Just Merisa (Metharia)

TEMAN KOPI

FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates