• Home
  • Cerpen
  • Local Cafe
    • Local Cafe
    • Others
    • Category
  • HOMEMADE FOOD
  • TRAVEL
  • Others

Rumpi Cangkir Kopi

Cerita dari tetes-tetes kopi, rintik-rintik hujan dan kesyahduan hening

facebook google twitter Instagram linkedin
Well, aku akan memperkenalkan diriku terlebih. Namaku Elona dan aku fiksi. Aku adalah cangkir berwarna merah muda dengan motif hati kecil-kecil. Di dunia cangkir, aku dijuluki sebagai cangkir yang serba tahu. Aku serba tahu bukan karena tanpa sebab, karena aku adalah cangkir paling senior di antara koleksi cangkir Ellie. Aku sengaja memunculkan diriku di akhir bagian kali ini, dan akan bercerita tentang dunia kami di kedai kopi. 

Awal mula kami muncul di dunia fiksi yaitu pada 12 September 2012. Wahh, sebentar lagi kami akan ulang tahun. Saat itu penulis kami mengikuti sebuah kegiatan Pos Cinta di Twitter dan berhasil keluar sebagai pemenang mingguan. Dan jika kalian ingin tahu apa yang dia dapat dari memenangkan kompetisi mingguan kala itu, jawabannya adalah sebuah jam dinding. Nahasnya jam itu tak pernah terpajang di dinding karena setelah dipasang baterai jam tersebut tidak berdetak sama sekali. Setelah euforia itu, kami semua tak tenggelam dalam kenangan, terpajang di blog penulis dan tak mengalami perkembangan. Bahkan saat tahun 2014 dia memutuskan untuk membeli domain atas nama dunia kami, Rumpi Cangkir Kopi, nasib kami juga tidak mengalami perkembangan apa pun. Hingga akhirnya kami sampai pada hari ini.

Dipertengahan bulan Juli lalu, penulis kami menemukan sebuah akun instagram tentang kelas menulis online. Dan dengan bermodalkan keinginan untuk melakukan apa yang dia cintai, dia pun akhirnya memutuskan untuk ikut kelas menulis online itu selama sebulan, yang bernama 30DWC. Kami sempat kaget ketika diputuskan untuk ditulis kembali. Dia, si penulis kami, sempat ingin membuat cerita baru namun tidak direspon baik oleh temannya. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk insyaf dari pengelanaannya dan kembali pada kami. 

Dan pada bulan Agustus 2019, dunia kami pun hidup kembali. Selama dua puluh tujuh hari kami bekerja keras untuk membentuk sebuah cerita. Namun sayangnya, kami merasa bahwa tiga puluh hari saja tidak cukup untuk menyelesaikan goal kami. Saat ini apa yang kami ceritakan hanyalah sebagian dari kompleksitas dunia kami. Masih banyak teman-temanku yang belum diceritakan, apalagi cerita tuan kami, si Ellie. Ellie dan Tumak bahkan belum bertemu di puncak pertikaian. Ya, dengan keterbatasan waktu yang kami punya untuk sama-sama berimajinasi di malam hari, kami hanya bisa berjalan sampai di pertengahan cerita.

Berperanglah dengan strategi, begitu pemikiran penulis kami. Setelah ini kami akan berunding kembali bagaimana strategi kami agar berhasil sampai di akhir cerita. Biarkan aku membicarakan ini lagi bersama sahabat terbaikku, Andreas. Aku sangat sedih karena harus kehilangan Panda, dan Polcoff pun belum juga kembali. Walaupun hanya hidup di malam hari menjelang waktu tidur, kami semua di dunia Rumpi Cangkir Kopi merasa sangat senang. Apalagi menerima respon positif dari banyak pembaca dan pengulas kami di grup Empire. 

Oh, memang benar yang manusia bilang bahwa saat terakhir adalah hal yang paling menyentuh. Kuharap, setelah ini kami akan terus dihidupkan oleh penulis kami. Semoga kami semua di dunia Rumpi Cangkir Kopi bisa menyelesaikan misi kami sampai akhir di tahun ini. 

#30DWC #30DWCJilid19 #Day31

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Dear Mama,
Hampir tiga tahun sudah tak dapat kulihat wajahmu, kugapai pelukanmu, dan kudengar nasehatmu. Selama itu pulalah aku harus merasakan sepi tanpa hadirmu. Tapi malam ini aku tak ingin mengucapkan hal menyedihkan. Aku malam ini ingin mengungkapkan rasa terima kasih ku padamu.
Ma, terima kasih karena sudah mengajariku menjadi wanita kuat. Ini adalah warisan terbesar yang telah aku terima. Kau mengajari ku bahwa wanita itu harus bisa melakukan sesuatu tanpa ketergantungan pada pria.
Ma, terima kasih karena sudah mengajari ku memasak. Tak ku sangka harus secepat ini ku praktekkan semua ajaran memasak darimu. Ingin rasanya ku mengulang waktu momen dimana kita berdua memasak, membuat kue bersama, mempraktekkan resep masakan yang kita lihati di telivisi. Sekarang di setiap lebaran aku merindukan kebersamaan kita membuat kue kacang bersama. Tak ada penjual kue kacang yang menjual kue denga rasa mirip olahan kita dahulu, Ma.
Ma, masih banyak rasanya ucapan terima kasih yang ingin ku ucapkan. Ucapan terima kasih ku ini pasti takkan cukup untuk menggantikan segala jerih payahmu selama mengasuhku. Selanjutnya aku ingin menjalani hidup dengan lebih baik, menjadi peribadi yang lebih baik setiap harinya. Sebagai pengharaan atas apa yang telah kau ajarkan selama ini kepada ku. Ku harap semoga di alam sana, kau bisa tersenyum bahagia. Semoga Allah selalu menyampaikan salam ku padamu di setiap doa yang selalu aku panjatkan pada-Nya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
foto via


Dear My Self...

Pada kesempatan kali ini, izin aku, seorang Metharia Saputri pada tanggal 29 Agustus 2019, meminta maaf kepada seorang Metharia Saputri pada tanggal berapapun kamu saat membaca ini. Pada hari ini, adalah pertama kalinya dalam dua puluh delapan hari aku keluar dari zona ‘Rumpi Cangkir Kopi’. Maafkan aku karena aku harus melakukan cheat hari ini. 

Kita, jiwa dan raga, sudah melakukan perdamaian sejak beberapa minggu yang lalu. Saat itu kita sudah berjanji untuk menjaga keseimbangan antara jiwa dan raga, tidak ada yang perlu mendominasi. Semua mempunyai porsi masing-masing untuk keberlangsungan harmonisasi jiwa raga ke depannya. 

Kedamaian esok hari dimulai dari hari ini. Selazimnya segala usaha membutuhkan pengorbanan, maafkan jika hari ini aku pilih untuk mengorbankan konsistensiku. Semua kulakukan dengan pertimbangan agar besok dan beberapa hari setelahnya aku bisa kembali dengan ide yang lebih segar. Kembali dengan lebih bertanggung jawab.

Selain itu, aku ingin meminta maaf kepada waktu tidur yang tergerus, kualitas tidur yang menurun, mata panda yang tak seimut Panda di Chengdu. Beristirahatlah kalian malam ini. Semua akan aku istirahatkan, kecuali mimpi. Maka akan aku hanturkan permohonan maaf kepada sang mimpi. Aku sudah merasakan bagaimana rasanya sebuah mimpi yang padam, betapa kelamnya masa-masa itu. Semoga api mimpi ini bisa terus berpijar, bersama jiwa dan raga yang solid. Selamat beristirahat, nikmati cuti kalian malam ini.

#30DWC #30DWCJilid19 #Day28

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sore itu selepas hujan yang mengguyur kota selama setengah jam, Boy memutuskan mengunjungi kedai kopi di gedung Antasari. Dia mengetahui keberadaan kedai ini dari unggahan Instagram seorang selebgram saat terjadi mati lampu di tengah-tengah pesta ulang tahun. Dia pernah beberapa kali lewat di jalan dimana kedai itu terletak. Dari pinggir jalan,dalam keadaan normal, kedai itu memancarkan suasana hangat dari pancaran lampu berwarna kuning dan interior dominan kayu yang terlihat dari luar.

Mengenai Boy, tak ada yang mengenal sosoknya di dunia nyata seperti orang mengenalnya di dunia maya. Dia adalah pria muda di pertengahan umur dua puluh dengan identitas sebagai Loveletterman di sosial media. Dia selalu menghiasi beranda sosial media nya dengan kumpulan puisi yang dia buat sendiri. Tapi dibalik semua persona yang dia bentuk itu, dia juga sering meolong orang lain untuk membuat surat cinta. Tidak semua orang terlahir romantis. Jadi menolong mereka yang ingin menghadiahkan keromantisan tidak ada salahnya. begitu pikir Boy.

"Mau pesan apa, Kak?" tanya April dari balik meja barista.

Boy dengan mudah mengenali wajah April. Senyumnya yang manis dengan bibir tipis dan dagu lancip, serta rambut panjang lurus berwarna kecoklatan, terlihat tak ada beda dengan foto yang biasa berseliweran di Instagramnya. 

"Cappucino satu," jawab Boy.

"Cangkirnya silahkan dipilih, kak." Ellie mengarahkan tangannya ke arah lemari display yang terletak di dekat meja barista.

"Oh, di sini cangkirnya bisa saya pilih?"

"Iya, kak. Kakak silahkan pilih cangkir yang kakak suka."

"Kalau begitu saya pilih cangkir hitam itu, yang ada gambar kunci nada nya."

"Baik, kak. Cangkir Andreas untuk kakak."

"Andreas siapa?"

"Nama cangkir ini Andreas, kak."

"Oh, ada namanya?" Boy terkekeh pelan. "Apa cangkirnya juga bisa saya beli?"

April tersenyum sambil menggeleng. "Baik, kak, silahkan di tunggu di mejanya," kata April sambil menyerahkan sebuah papan plastik dengan angka lima tertulis di sana.

Boy mengambil papan kecil itu dan membawanya ke meja yang ada di teras kedai. Dia ingin menikmati pemandangan jalan dari sana. Hari itu kebetulan Minggu, jadi suasanan jalan agak lengang dan tidak terlalu bising seperti biasanya. Ditambah hawa lembab sehabis hujan, mampu menghantarkan segarnya aroma tumbuhan di taman yang ada di sekitar teras. Suasana yang mampu membangkitkan imajinasinya dalam menulis.

"Ini, kak, pesanannya. Selamat menikmati," Ucap Bambang sambil menyuguhkan secangkir Cappucino.

"Ya," Boy hanya merespon singkat sambil mengangguk.

Sambil menunggu kopinya berkurang suhu, Boy mengecek kembali pesan-pesan yang masuk melalui Whatsapp-nya. Sore itu dia mempunyai pesanan membuat sebuah surat cinta. Seorang pria menghubunginya kemarin malam dan meminta untuk dibuatkan surat yang mampu memberikan dorongan motivasi kepada orang yang ditujunya. Setelah merasa info yang dibutuhkannya tentang calon sasarannya cukup, Boy mulai menyesap kopinya.

“Untuk urusan romantisme, seharusnya kau serahkan kepada ku. Dunia sudah mengakui bahwa pria Italia adalah pria paling romantis. Buongiornoprincipesa! (Selamat pagi putri), Buona Noteamore! (Selamat malam cinta) Tesoro Mio (sayangku). Aku punya segudang rayuan untuk para wanita," celoteh Andreas yang sudah mampu membaca pikiran Boy setelah kopi yang ada di dalamnya diseruput oleh Boy. Dia selalu membanggakan dirinya sebagai cangkir dari Italia dan menyamakan dirinya dengan lelaki dari Italia.

Suasana yang nyaman di kedai itu dan segarnya aroma kopi serta rasanya yang pas di lidah Boy, sangat mendukung Boy dalam merangkai kata-katanya. Dia merasa kali ini dia bisa menulis lebih cepat dari biasanya. Setelah beberapa kali membaca ulang dan merasa mantap dengan apa yang dia tulis, Boy kemudian mengirimkan tulisannya itu kepada kliennya.

*****


Ting! Ellie merogoh saku celemeknya dan melihat notifikasi pesan masuk dari  seorang yang mempunyai nada dering tersendiri. Di layar ponselnya kini terpampang sebuah puisi sebagai isi dari pesan masuk tersebut.

Dear kamu yang sedang berusaha
Lewat tulisan ini kukirimkan buaian cinta
Agar bisa kau temukan kembali makna
Tentang mimpi yang berjuang dalam realita
Mungkin pernah kau merasa lelah
Semua yang kau lakukan terasa payah
Hingga kau berkata, ‘cukup sudah’
Tapi hati kecilmu berbisik jangan menyerah 
Ku harap kau tahu bahwa mimpi tak mempunyai batas
Mimpi hanya akan terwujud jika kau segera bergegas
Dahaga akan usaha yang tak pernah puas
Dan semangat yang tak terkikis  
Duhai kamu yang sedang berusaha
Pernah kah kau tahu luasnya semesta
Luasnya sungguh tak terkira oleh manusia
Tapi mimpi yang mampu menerbangkan mereka ke sana 
Ingatlah selalu kamu yang sedang berusaha
Mimpi bagailah sorang pengembara
Berjalan kesana kemari mencari makna
Dan hanya cinta yang sanggup mengawalnya 
Pernah kah kau berpikir untuk mencintai mimpi-mimpi mu
Memperjungkannya, mempertahankannya
Hingga dia bukan hanya sebatas bayangan semu
Melainkan dorongan hidup yang terus memacu mu





Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sore itu selepas hujan yang mengguyur kota selama setengah jam, Boy memutuskan mengunjungi kedai kopi di gedung Antasari. Dia mengetahui keberadaan kedai ini dari unggahan Instagram seorang selebgram saat terjadi mati lampu di tengah-tengah pesta ulang tahun. Dia pernah beberapa kali lewat di jalan dimana kedai itu terletak. Dari pinggir jalan, dalam keadaan normal, kedai itu memancarkan suasana hangat dari pancaran lampu berwarna kuning dan interior dominan kayu.

Mengenai Boy, tak ada yang mengenal sosoknya di dunia nyata seperti orang mengenalnya di dunia maya. Dia adalah pria muda di pertengahan umur dua puluh dengan identitas sebagai Loveletterman di sosial media. Dia selalu menghiasi beranda sosial medianya dengan kumpulan puisi yang dia buat sendiri. Tapi dibalik semua persona yang dia bentuk, dia juga sering menolong orang lain untuk membuat surat cinta. Tidak semua orang terlahir romantis. Jadi menolong mereka yang ingin menghadiahkan keromantisan tidak ada salahnya, begitu pikir Boy.

"Mau pesan apa, Kak?" tanya April dari balik meja barista.

Boy dengan mudah mengenali wajah April. Senyumnya yang manis dengan bibir tipis dan dagu lancip, serta rambut panjang lurus berwarna kecoklatan, terlihat tak ada beda dengan foto yang biasa berseliweran di Instagram-nya.

"Cappucino satu," jawab Boy.

"Cangkirnya silahkan dipilih, kak." Ellie mengarahkan tangannya ke arah lemari display yang terletak di dekat meja barista.

"Oh, di sini cangkirnya bisa saya pilih?"

"Iya, kak. Kakak silahkan pilih cangkir yang kakak suka."

"Kalau begitu saya pilih cangkir hitam itu, yang ada gambar kunci nada nya."

"Baik, kak. Cangkir Andreas untuk kakak."

"Andreas siapa?"

"Nama cangkir ini Andreas, kak."

"Oh, ada namanya?" Boy terkekeh pelan.

"Baik, kak, silahkan di tunggu di mejanya," kata April sambil menyerahkan sebuah papan plastik dengan angka lima tertulis di sana.

Boy mengambil papan kecil itu dan membawanya ke meja yang ada di teras kedai. Dia ingin menikmati pemandangan jalan kala sore dari sana. Ditambah hawa lembab sehabis hujan, mampu menghantarkan segarnya aroma tumbuhan di taman yang ada di sekitar teras.

"Ini, kak, pesanannya. Selamat menikmati," Ucap Bambang sambil menyuguhkan secangkir Cappucino.

"Ya," Boy hanya merespon singkat sambil mengangguk.

Boy mengecek kembali pesan yang masuk melalui Whatsapp-nya. Sore itu dia mempunyai pesanan membuat sebuah surat cinta. Seorang pria meminta untuk dibuatkan surat yang mampu memberikan dorongan motivasi kepada orang yang ditujunya. Setelah merasa info yang dibutuhkan tentang calon sasaran cukup, Boy mulai menyesap kopinya.

“Untuk urusan romantisme, seharusnya kau serahkan kepada ku. Dunia sudah mengakui bahwa pria Italia adalah pria paling romantis. Buongiornoprincipesa! (Selamat pagi putri), Buona Noteamore! (Selamat malam cinta) Tesoro Mio (sayangku). Aku punya segudang rayuan untuk para wanita," celoteh Andreas yang sudah mampu membaca pikiran Boy setelah kopi yang ada di dalamnya diseruput oleh Boy. Dia selalu membanggakan dirinya sebagai cangkir dari Italia dan menyamakan dirinya dengan lelaki dari Italia.

Segarnya aroma kopi serta rasan yang pas di lidah Boy, mampu mendukung Boy dalam merangkai kata. Dia merasa kali ini bisa menulis lebih cepat dari biasanya. Setelah beberapa kali membaca ulang dan merasa mantap dengan apa yang dia tulis, Boy kemudian mengirimkan tulisannya itu kepada kliennya.



#30DWC #30DWCJilid19 #Day27
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ellie memperhatikan kondisi ruangannya dengan seksama. Dia memeriksa hampir setiap inchi sudut ruangannya dan memilah-milah lembaran kertas yang berhamburan di ruangannya. Tak ada satupun benda yang dia sadari hilang. 
“Ada apa ini?” Tanya Robert yang tiba-tiba saja berada di depan pintu ruangan Ellie. “Tadi saya lihat banyak sekuriti yang berkumpul di depan, jadi saya mampir. Kamu kemasukan maling, ya?”
“Iya pak,” jawab Ellie singkat. Ellie mencoba untuk berpikiran jernih saat melihat kehadiran Robert di sana. Dia mencoba untuk tidak berburuk sangka bahwa Robert berada di balik semua ini, tapi hatinya justru mengajaknya berpikir sebaliknya.
“Wah, kok bisa?  Malingnya masuk lewat mana?”
“Pintu samping, Pak.”
“Pintunya rusak?”
“Enggak, Pak.”
“Pintunya enggak rusak? Terus gimana cara malingnya bisa masuk? Jangan-jangan ada orang dalam yang beraksi.”
“Orang dalam?” Ellie segera bangkir berdiri dan berjalan kehadapan Robert. “Maksud Bapak apa? Karyawan saya? Saya kenal para pekerja saya di sini, Pak. Enggak mungkin mereka bisa berbuat seperti itu. Saya malah berpikir jangan-jangan orang gedung Bapak yang berbuat seperti itu. Ada yang mau sabotase keberadaan saya di sini.”
“Hei, hei, hei… Kamu jangan bicara sembarangan, ya. Apa maksud kamu nuduh orang gedung berbuat kotor seperti itu?”
“Karena terlalu kebetulan, Pak, kedai saya ini kena masalah-masalah aneh bertubi-tubi. Pertama, tagihan air dan listrik yang sangat tidak masuk akal. Kedua, listrik kedai ini mati di saat kami sedang ada acara, dan hanya kedai kami yang mati. Saya sudah tanya ke kepala divisi perawatan gedung kalau kejadian saat itu adalah permintaan langsung dari Bapak. Pak, came on, kenapa harus sebrutal itu? Ketiga, kemalingan yang hampir tak masuk akal di gedung besar seperti ini? Harusnya Bapak malu, karena itu berarti sistem keamanan di sini sangat payah. Bukannya malah menyalahkan karyawan saya sebagai orang dalam.”
“El, kamu jangan berbicara sembarangan, ya. Lebih baik kita panggil polisi saja biar semua ini diselidiki.”
“Saya rasa tidak perlu, Pak. Saya tidak kehilangan barang satu pun.”
“Panggil saja polisi biar jelas masalahnya di sini.  Saya tidak terima kamu tuduh seperti itu.”
Hening muncul menyela di antara percakapan mereka.  Ellie mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan, mencoba mencari kekuatan untuk menghadapi polah Robert.
“Dengar, ini peringatan terakhir saya. Kamu saya kasih waktu satu bulan untuk melunasi tagihan dan sewa tempat ini secara penuh. Mulai sekarang saya akan memperlakukan kamu seperti penyewa lain di sini. Jika kamu tidak sanggup melunasi semuanya, silahkan angkat kaki dari sini. Masih banyak yang tertarik dengan tempat kamu ini. “Kamu lihat sendiri, kan, tempo hari Bos kafe franchise itu datang kemari. Dia sanggup bayar sewa tempat ini berkali-kali lipat dari harga yang kamu bayar. Sekarang untuk apa saya juga harus menanggung beban dari kerugian kamu kalau saya bisa mengambil untung banyak dari mereka?”
Ellie bisa merasakan seluruh aliran darahnya seperti mendidih mendengar perkataan Robert barusan. “What?” Ellie berada di ambang tak mampu mengeluarkan kata-kata lagi karena syok.

#30DWC #DWCJilid19 #DAY26
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Ellie merasa dirinya bagai tersambar petir di siang bolong. Dia menerima telepon dari Hendro yang memberitahukan kondisi terkena di kedainya.
“Bu, kedai Ibu kemasukan maling.”
“Apa? Kok bisa? Malingnya masuk masuk dari mana?”
”Tadi yang kebuka sih pintu samping, Bu.”
Ellie menepuk dahi  dengan tangan kirinya. Dia menyadari bahwa pintu samping, yang terhubung langsung dengan area parkir berada jauh dari sorot kamera CCTV.
“Ada yang hilang enggak, Hen?”
“Enggak tahu, Bu, tapi kalau ruangan Ibu lumayan berantakan.” 
“Cangkir-cangkir ada yang hilang atau pecah, enggak?”
“Sepertinya enggak ada, Bu.”
“Ya, udah, nanti sebentar lagi saya ke sana,” kata Ellie menutup pembicaraan yang mampu membuatnya merasakan kembali ketegangan di belakang lehernya.
Keadaan di kedai saat itu sangat kacau. Pintu samping yang diduga sebagai jalan masuknya maling itu mengalami kerusakan di bagian kunci. Semalam, Ellie sendiri yang menjadi orang terakhir mengunci pintu. Ellie masih sangat ingat bahwa dia lah yang mengunci pintu itu. Berbeda dengan pintu depan, dia tak memberikan kunci serap pintu samping ini kepada siapa pun. Kondisi bagian depan kafe masih terlihat rapi, seolah tidak ada bekas tempat kemasukan maling, bahkan kursi dan meja pun tidak mengalami pergeseran tempat. Bagian yang mengalami kekacauan parah adalah dapur. Tempat sampah berhamburan dengan isi yang tumpah dari sana. Stok gelas kertas dan plastik yang di simpan di lemari dapur berhamburan di lantai.
 Ruangan kantor kecil Ellie juga tak kalah berantakan. Berkas-berkas invoice berhamburan di lantai. Selimut dan bantal Ellie yang tersusun di dalam lemari pun ikut terdampar di luar. Brankas kecil yang tersembunyi di lemari itu sudah berpindah tempat ke luar, berada di bawah meja kerja Ellie, tapi masih dalam kondisi terkunci.



#30DWC #30DWCJilid19 #Day25
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Malam itu, Ellie memutuskan untuk pulang ke rumah. Sudah lebih seminggu dia tidak pulang ke rumah. Semenjak memutuskan untuk membuka kedai di pagi hari, Ellie lebih memilih untuk tidur di ruangannya. Jarak antara rumah dan kedai nya memerlukan waktu tempuh selama empat puluh lima menit dalam kondisi normal. Jika pada jam sibuk, atau sedang ada acara yang mengakibatkan jalan macet, bisa memakan waktu lebih dari satu jam. Ellie sangat tidak menyukai suasana kesemerawutan di jalan raya, baginya itu adalah kombinasi yang bisa membuatnya merasa badmood seketika.  Itulah mengapa Ellie memutuskan untuk tidur di kedai walau harus tidur melantai.
Ibu duduk di meja makan dengan secangkir susu coklat hangat yang terhidang di hadapannya. Ibu sengaja membuatkan teh itu untuk Ellie yang saat ini sedang mandi. Ayah sudah lebih dulu tidur, sedangkan Ibu sengaja berjaga menunggu kedatangan Ellie.
“Bu, tahu enggak? Semenjak buka dari pagi, sekarang kedai aku sudah mulai ramai, loh.” Ellie berjalan dari kamar mandi menuju ruang makan sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. 
“Alhamdulillah, bagus dong. Jadi nanti kamu enggak perlu tidur di kedai mikirin kerjaan kamu di sana. Nanti bisa masuk angin kamu kalau keseringan tidur di lantai, bisa paru-paru basah.”
“Ibu apaan sih, percaya mitos begituan,” seloroh Ellie sambil tersenyum. “Akhirnya, Bu, orang-orang di gedung sana mulai merasa kehadiran kedai aku itu sangat berfaedah. Mereka sekarang jadi bisa ngopi pagi dengan kopi asli, enggak minum kopi sachet lagi.”
“Pagi-pagi sudah minum kopi, enggak takut maag, apa?”
“Yah, Ibu, kopi asli sih enggak bikin maag. Lagian biarin aja, itu kan kerjaan aku.”
“Kamu itu juga El, jaga kesehatan, jaga makan. Nanti kalau sakit, kamu enggak berdaya apa-apa. Apa artinya kerjaan kamu itu, bisa habis buat bayar berobat aja.”
“Iya, Bu, iyaaa…”
“Kamu sudah makan?”
“Masih kenyang, Bu. Tadi sama anak-anak di kedai barengan makanin sisa brownies.”
“Ya sudah, kalau begitu minum ini susunya. Kalau sudah habis cepatan tidur. Besok berangkat pagi lagi, kan.”
“Enggak, besok ke kedainya agak siangan. Soalnya pagi mau ketemu sama Pak Reno. Terus siangnya baru janjian ketemu sama sepupu nya pacar Andrew di kedai.”
“Loh, ngapain?”
“Ya ngomongin kerjaan, Bu. Mau tanya-tanya strategi bisnis sama mereka,” kata Ellie meminum susu coklat buatan Ibunya. Dia sebenarnya sudah menyikat gigi saat mandi tadi, kini terpaksa mengotori gigi dan lidahnya lagi dengan minum susu. “Ibu mau kemana?” tanya Ellie saat melihat Ibu nya berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke arah belakang rumah.
“Mau sholat malam, sudah hampir jam dua pagi ini, daripada Ibu bangun lagi.”
“Oh… Doain aku ya, Bu, biar makin laris jualannya.”
“Ibu, sih, selalu doain anak-anaknya. Sholat sendiri juga sana,” kata Ibu sambil terus berjalan meninggalkan Ellie yang tersenyum-senyum di meja makan. 

#30DWC #30DWCJilid19 #Day24
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ellie kembali ke kedai dengan wajah sumringah. Di tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya saat itu. Dia berhasil sampai tepat waktu mengantar kopi-kopi pesanan tanpa ada kendala di perjalanan menuju lantai sepuluh. Baginya, semesta memberikan dukungan penuh atas apa yang dia lakukan. Semesta tahu bagaimana beratnya dia bertahan di tahap ini, bertahan untuk tetap melanjutkan apa yang sudah dia mulai.
Andrew sudah berada di kedai saat Ellie datang. Semalam, melalui telpon, Ellie menceritakan padanya tentang rencana masuknya kafe baru di rooftop. Ellie memintanya datang untuk membicarakan kembali strategi pemasaran mereka untuk mengantisipasi datangnya pesaing baru itu. Ada sesuatu yang tak biasa kali ini, Andrew tak datang seorang diri seperti biasanya. Ada Tania, perempuan muda cantik yang sudah menempel bersama Andrew selama hampir dua tahun lamanya.
“Loh, pagi amat datangnya, Dru?”
“Iya, nih, mampir bentar sebelum ngantar Tania.” Andrew berbicara sambil menoleh ke arah Tania yang duduk di sebelahnya.
“Hai, Tania,” sapa Ellie sambil mengambil tempat duduk di hadapan mereka berdua. Tania tampak tak berminat menggubris sapaan Ellie dan lebih memilih sibuk dengan ponselnya sendiri. “Lu kalau sibuk mau ngantar Tania, antar aja dulu. Kita bisa ngobrol nanti-nanti, kok.”
“Gue mau pergi sama dia juga maksudnya.”
“Oh...”
“Ke Singapur.”
“Oh…”
“Lusa baru balik, makanya mampir dulu ke sini.”
“Oh…”
“El,” Andrew bisa merasakan kecanggungan di antara mereka saat itu. “Gue pengen ngenalin lu sama sepupunya Tania, deh. Dia juga punya bisnis kafe di kota lain. Mungkin lu bisa tanya-tanya sama dia yang lebih berpengalaman. Iya, kan, Tan?”
Tania hanya memberikan respon mengangguk. Pandangannya tak beralih sedikitpun dari layar ponsel.
“Gue bisa ketemu sama dia dimana?”
“Dia lagi ada di kota ini sampai minggu depan. Kemarin gue sih ketemu dia di rumah Tania, dan gue udah cerita soal kondisi kita saat ini. Nanti lu gue kasih kartu nama dia, dan lu silahkan kontak dia sendiri, terserah mau janjian kapan ketemuan di mana. Lu ajak aja DIra kalau dia lagi enggak sibuk.”
“Oh, oke.. Thanks, ya , Tania,” kata Ellie sengaja memancing perhatian Tania.
“It’s Ok!” kata Tania yang akhirnya mendongak, dengan wajah datar tanpa senyum.
Ellie sangat-sangat memahami ekspresi dari Tania tersebut. Selama ini Tania merasa bahwa pertemanan antara Ellie dan Andrew terlalu dekat. Dia protes karena Ellie adalah perempuan lain selain dirinya yang mampu membuat Andrew segera datang jika diminta untuk datang, perempuan lain yang diingat oleh Andrew kapan hari ulang tahunnya selain dirinya.



#30DWC #30DWCJilid19 #Day23

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Lemari display telah kehilangan satu anggotanya. Panda, yang biasa di tempatkan Ellie di pojok sebelah kiri pada tingkatan rak kedua dari atas, menyisakan kekosongan di sana. Di Rak itu biasa disusun berderet Panda, Elona dan Artsy.

“Tidak ada lagi si anak ribut,” gerutu Elona yang berada di samping tempat Panda.

“Yah, sekarang kau bisa lebih tenang Elona. Tak ada lagi yang selalu menanyaimu tentang banyak hal,” timpal Artsy.

“Aku tak percaya umurnya sesingkat itu, Artsy. Padahal aku senang melihat wajahnya dengan mata yang hitam berbinar itu.”

“Ellie bisa saja membeli cangkir yang mirip dia setelah ini.”

“Ngomong-ngomong, apa kau tahu apa yang Ellie lakukan? Mengapa dia sangat sibuk sampai-sampai dia tidak minum apapun menggunakan aku?”

“Aku tak tahu, Elona. Sejak tadi pagi dia sibuk bersama cangkir-cangkir kertas itu.”

“Hoooh, aku menyerah jika ingin bertanya dengan para cangkir kertas itu. Mereka bicara terlalu pelan, sedangkan para cangkir plastik mereka berbicara tak jelas.”

“Elona, Polcoff?” Artsy tiba-tiba baru saja menyadari ketidakhadiran Polcoff, karena tak ada suara ribut dari Panda dan suara serba tidak tahu dari Polcoff.

“Astaga! Sudah berapa lama dia menghilang bersama si Tumak? Oh, Ellie apa yang sedang dia lakukan? Apa dia sudah lupa dengan Polcoff?”

Ellie berlalu di depan lemari display sambil membawa enam cangkir kopi latte dalam satu wadah, tanpa pernah menyadari bahwa cangkir-cangkir kesayangannya sedang membicarakannya. Semalam, saat dia uring-uringan di ruangannya sambil membicarakan kehadiran kafe franchise  bersama Dira, dia menerima pesan orderan kopi untuk rapat. Saat itu Ellie merasa ingin meloncat kegirangan karena akhirnya aksi bagi-bagi kopi gratis dan brosur di lobi tempo hari membuahkan hasil.

Saat hendak berjalan menggapai pintu, tanpa disangka Bambang yang baru saja datang membawa bahan stok mendorong pintu dengan membelakanginya tanpa tahu bahwa Ellie berada di balik pintu dari arah berlawanan. Alhasil, pintu tersebut mengayun ke arah dalam dan mengenai ujung dari wadah kopi Ellie dan membuat tumpah beberapa cangkir di dalamnya.

“Aduh, Bu, maaf saya enggak liat,” kata Bambang dengan wajah panik.

"Parah, lu, Bambang." Celutukan Sandra tentang nama Bambang yang biasanya mampu memberikan suasana humor receh bagi Ellie tak membantu sama sekali saat ini.
Ellie hanya bisa melongo dan bergegas berlari ke balik meja barista dan segera membuat yang baru. “Sandra, siapin cangkir baru!” Teriak Ellie.

Sigap, Sandra segera menyiapkan cangkir baru. Ellie meletakkan cangkir-cangkir yang sekarang sudah belepotan karena isinya yang terguncang dan meluber keluar.

“San, bikin baru. Enggak mungkin ngasih kopi dengan gelas kotor begini.” Ellie memejamkan matanya, di kepalanya berjalan rumus kerugian karena kehilangan enam cangkir kopi secara percuma. Ditambah besaran diskon yang harus dia berikan, karena dia memang sengaja memberikan promo diskon untuk pemesanan kopi diatas lima cangkir.

Lima belas menit kemudian, Sandra telah selesai membuatkan kopi baru. Ellie mempercepat langkahnya, mengingat dia hanya punya waktu sekitar sepuluh menit sebelum jam sembilan. Dia harus mengantarkan kopi-kopi ini ke lantai sepuluh, ke kantor pemasaran salah satu produk elektronik dari Jepang. Dia berjuang memberikan kesan terbaik di orderan pesan antar kopi pertamanya kali ini.

#30DWC #30DWCJilid19 #Day22
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ellie kembali ke kedai dalam keadaan lemah lunglai. Belum reda emosinya setelah semalam mengalami sabotase pemadaman listrik sepihak, pagi ini dia harus menerima kenyataan bahwa akan muncul kompetitor yang sangat kuat. Mendadak pikiran buram menggerogoti pemandangan masa depan kedai ini.
“Kok lemas amat, Bu?” Celutuk Hendro sambil mengelap meja pelanggan.
Ellie hanya diam tak mengacuhkan celutukan Hendro. Dia berjalan melewati Hendro ke arah ruangannya. Di sana Ellie mengambil bantal dari dalam lemari dan merebahkan diri di lantai sambil memandangi langit-langit di atasnya. Ruangan ini, entah mengapa, terasa sangat menyebalkan hari ini. Mendadak muncul rasa bosan dan muak harus berada di ruangan berukuran tiga kali tiga meter bahkan hampir hingga dua puluh empat jam dalam seminggu. Ellie mulai membayangkan bagaimana nasibnya jika dia tetap bertahan bekerja sebagai karyawan di perusahaan tempat dia bekerja dulu, setidaknya dia akan mengalami perjalanan bisnis minimal dua bulan sekali ke suatu kota. Dia akan mengakhiri hari dengan perasaan capek, bukan dengan perasaan tak menentu tentang hari esok.
“Hai, guys….” Suara Dira terdengar keras hingga ruangannya. “Ellie mana?”
“Tadi saya lihat masuk ke ruangan kantor dia, Bu,” jawab Hendro.
“Oh, oke, makasih Hendro.”
Ellie bisa mendengar suara decitan sepatu karet berjalan mendekati ruangannya.
“Hai, sayang… Pagi-pagi kok sudah tiduran?” kata Dira saat melihat Ellie telentang di lantai.
“Dir, lu sudah tahu apa belum, kalau abang lu mau bawa kafe franchise asing itu di sini?”
“Hah? Gue enggak tahu sama sekali, sumpah.”
“Dan mereka mau ambil tempat di rooftop. Mati Gue.”
“Hah? masa kita harus saingan sama kafe sekelas mereka? Ya susah lah.”



#30DWC #30DWCJilid19 #Day21
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Saat pintu lift terbuka, Ellie dan Robert saling tatap. Tidak ada di antara mereka yang bergerak masuk atau keluar dari dalam lift. Kedua orang tamu Robert yang berdiri di sampingnya hanya mengangguk pada Ellie, merasa sedikit kikuk dengan suasana saat itu.
“Lho, ada apa kamu naik sampai sini, El?” tanya Robert.
“Saya kebetulan ada perlu dengan pak Robert,” jawab Ellie.
“Oh, kalau begitu kita bicara nanti ke ruangan saya setelah saya selesai meeting dengan tamu saya ini, ya.”
“Pak Robert,” potong sang tamu yang berperawakan paling tinggi. “Lokasi di sini oke, cuman saya lebih senang dengan lokasi yang di lobi. Lebih kelihatan dari jalan raya. Memang di atas sini bagus, pemandangannya oke, tapi saya takut customer nanti malas naik ke atas sini.”
“Nanti kita bicarakan di ruangan saya saja, tidak nyaman bicara bisnis sambil jalan begini.” Robert mengerling pada Ellie yang meringsut ke pojok lift saat ketiga orang itu masuk ke dalam lift.
“Perusahaan majalah itu kapan masuk ke sini?” Pria berperawakan tinggi itu sepertinya tak terbiasa hanya diam tanpa mengobrol apapun.
“Sekitar dua bulan lagi. Mereka ambil full satu lantai untuk kantor mereka semua.”
“Wah, bagus itu. Tempat ini pasti langsung akan ramai.”
Bell lift kemudian berdecing. Mereka berempat telah kembali ke lantai dua tempat ruang kantor Robert berada. Dian, sekretaris Robert, yang menyaksikan kedatangan mereka segera membukakan pintu ruangan Robert. Robert dan kedua tamunya lalu berjalan masuk, sedangkan Ellie memilih melanjutkan perjalannya ke lantai dasar dan kembali ke kedai.

#30DWC #30DWCJilid 19 #Day20

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Suasana kedai menjadi gaduh dalam kegelapan. Terdengar sorak sorai bernada ‘Huuuuu….” yang dilontarkan para pengunjung. Suara protes pun terdengar dari berbagai sumber. Pengunjung saling melemparkan candaan bernada sarkasme saat menyadari hanya kedai Ellie yang mengalami pemutusan arus listrik. Dan tak lama kemudian, terdengar suara benda jatuh, mengeluarkan bunyi prank akibat benturan dengan lantai keramik dan menggemparkan beberapa orang di sekitarnya.

“Sayang, Kamu kenapa?” Terdengar suara Niki di antara keributan tersebut.

“Aku kesenggol cangkir kamu kayaknya, Nik. Sorry, ya.”

Ellie seketika menyadari bahwa saat itu dia telah kehilangan Panda. Dia ingat saat hendak mengantarkan cangkir pesanan Pria Berkemeja Biru tadi, dia melihat Panda juga berada di meja tersebut.

“Iya, Sayang, enggak apa-apa. Duh, ini gimana sih kafe bisa mati lampu kayak gini.”

“Yah, namanya juga kafe kecil. Mungkin mereka enggak punya mesin genset.”

“Rugi banget dong, Sayang, aku udah booking tempat malah mati lampu.”

“Kita balik aja, yuk, Nik. Aku khawatir kalau ada korsleting, nanti kita bisa bahaya kalau ada apa-apa di tempat ini.”

Dengan sedikit pencahayaan dari ponsel-ponsel yang dinyalakan oleh pengunjung, Ellie bisa melihat Niki sedang berjalan menuju ke arahnya seorang diri.

“Mbak, ini gimana acara saya belum selesai. Saya pokoknya minta kompensasi harga, saya enggak mau bayar full sewa tempat ini,” protes Niki.

“Oke, mbak Niki. Kita ngomongin ini besok-besok, ya. Suasananya sekarang sangat tidak kondusif. Saya janji akan ada kompensasi soal insiden malam ini. Ngomong-ngomong tadi ada cangkir saya yang pecah, ya?” Ellie memandang ke arah bawah meja tempat di mana si Pria Berkemeja Biru duduk dan melihat kedua mata Panda yang sudah terpisah di atas lantai.

“Oh, iya, tadi kesenggol pacar saya soalnya gelap banget dia enggak bisa lihat apa-apa. Benar, ya, saya tunggu kabar dari Mbak. Kalau enggak, saya enggak bayar sisa pelunasan sewanya.” Niki kemudian segera berlalu kembali pada pacarnya itu dan nampak juga mengajak teman-temannya yang lain untuk pergi.

Semua pengunjung pun akhirnya pergi meninggalkan kedai, menyisakan tempat yang berserakan dalam gelap. Ellie lalu meminta agar para karyawannya menyalakan fitur sentar di ponsel masing-masing untuk memberikan pencahayaan sementara.

*******
Akibat padamnya listrik di kedai tadi malam, Ellie harus menanggung malu yang tak terkira di hadapan para pelanggannya, terutama Niki dan si Pria Berkemeja Biru. Pesta ulang tahun semalam harus bubar lebih awal dari yang dijadwalkan karena hingga lima belas menit listrik tak kunjung menyala. Listrik baru menyala kembali setengah jam kemudian setelah suami Dira turun tangan untuk menelpon kepala teknisi.

Pagi ini Ellie berjalan sendirian ke kantor Robert di lantai dua. Dia tak memberitahu Dira atau pun Andrew tentang keinginannya menyampaikan protes pada Robert. Dia sudah bisa menebak bahwa Dira pasti akan meminta untuk menyerahkan masalah ini pada Dira saja, memanfaatkan koneksi yang dia punya. Sedangkan Andrew kemungkinan akan menggelontorkan pinjaman modal lagi pada Ellie agar bisa melunasi hutang tagihan listrik. Sesampainya di depan kantor Robert, sekretaris Robert yang berjaga di sana memberitahu Ellie bahwa saat itu Robert sedang tidak berada di dalam karena harus menemani calon tenant baru untuk survei tempat di rooftop.

Ellie kemudian segera berjalan menuju lift dan langsung pergi ke lantai lima belas dimana rooftop berada. Beberapa detik kemudian, dengan tanpa ada yang menahan laju lift dari lantai dua, pintu lift terbuka di lantai lima belas. Di balik pintu berdiri Robert dan dua orang berseragam warna hitam dengan bordiran sebuah nama kafe franchise dari luar negeri. Ellie segera menyadari bahwa calon tenant yang dimaksud sekretaris Robert tadi adalah kafe franchise dari luar negeri ini.



#30DWC #DWCJilid19 #Day19


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ellie sebenarnya ingin pergi meninggalkan kedai sekarang juga, tapi sangat tidak profesional meninggalkan para karyawan lain yang sibuk melayani para tamu ulang tahun ini hanya karena alasan pribadi. Mantan pacarmu, yang juga pernah jadi rekan kerjamu, yang sama sekali tak mengangkatmu saat terpuruk, dan yang juga mengkhianatimu, merayakan ulang tahun di kedai kopi yang dulu pernah  disangsikan keberlangsungannya olehnya.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Elona?” Tanya Andreas menuntut penjelasan.

“Oh, Andreas, aku ingat betul ada hari dimana Ellie hanya tidur-tiduran di kamarnya selama  sehari penuh. Kemudian pria itu pernah datang ke rumah Ellie saat dia sedang menikmati kopi paginya di hari sabtu dan mereka saling berteriak satu sama lain. Pertengkaran itu baru berakhir saat Ellie terduduk dan menangis tanpa suara. Dan pria ini pergi begitu saja. Kau tahu? Setelah pertengkaran itu Ellie bahkan melupakan ku! Aku dibiarkan saja berada di depan TV sampai besok harinya tanpa di cuci.”

“Woh, dilupakan dan tak dicuci itu adalah mimpi buruk semua cangkir, Elona.”

Sementara itu, Ellie hanya terdiam duduk di belakang meja kasir. Dia lebih memilih duduk di situ daripada bergabung bersama Andrew Dira dan berpotensi memulai ghibah tentang pria berkemeja biru dan Niki. Dia tidak ingin pria berkemeja biru itu menang dengan opininya saat Ellie memutuskan untuk resign dulu, bahwa Ellie tidak mempunyai jiwa bisnis, hanya ingin bersenang-senang dan tak akan mampu tahan banting dalam berusaha.

Sesekali, Ellie mencuri pandang ke arah pria berkemeja biru dan Niki yang duduk bersebelahan. Saat menyerahkan buket bunga setelah berakhirnya acara tiup lilin tadi, Ellie dan pria berkemeja biru itu hanya saling lempar senyum. Tak ada percakapan yang terjadi di antara mereka kecuali ucapan ‘Selamat Ulang Tahun’, karena dipotong dengan kehebohan Niki yang bertindak sebagai empunya pesta. 

“Lu udah makan belum?” tanya Andrew yang tak disadari kehadirannya oleh Ellie.

“Belum,” jawab Ellie sambil menggelengkan kepala. 

“Ya, udah, kalau acara ini sudah selesai, lu gue traktir makan deh biar enggak cemberut lagi.”

“Kalau begini gue jadi enggak nafsu makan, Dru.” Ellie menoleh dan menatap dalam wajah Andrew. 

Kehadiran pria berkemeja biru itu secara otomatis menimbulkan kembali kenangan lama Ellie. Ellie membandingkan Andrew dan pria itu. Pria itu hanya kaya dengan perhatian saat di awal perkenalan. Sedangkan Andrew, meskipun mereka sudah berteman sejak SMA walau tidak terlalu akrab, dan baru akrab setelah  dia ikut menjadi investor di kedai ini, biasanya selalu aktif menanyakan waktu makan Ellie. Dia selalu beralasan tidak suka makan sendirian dan senang apabila Ellie mau menemaninya makan.

“Gue pulang dulu, ya, sayang.” Dira berpamitan pada Ellie sambil melepaskan pelukan perpisahan. “Gak usah dipikirin, ya. Makan malam duluu aja sama Andru."

“Maaf, bu, saya permisi mau ijin ke toilet. Saya enggak sempat ngantar pesanan kopi Mocha ini sama mas-mas yang pakai baju kemeja biru panjang.” April mengintrupsi sambil berlari kecil karena sudah sangat ingin ke toilet.

“Oke, saya antar.” Segera Ellie mengambil cangkir kopi yang tadi di serahkan April padanya. Dengan mengumpulkan seluruh keberanian diri, Ellie segera mengambil cangkir itu dan berjalan menuju pria tersebut.

Secara mengejutkan, kedai tiba-tiba kehilangan cahaya lampu dan menjadi gelap. Hanya ada temeraman lampu dari para pengguna jalan raya.

“Ini pemutusan karena enggak bayar listrik, ya, Dir?” tanya Ellie pada Dira yang masih berada di belakang meja kasir.

#30DWC #30DWCJilid19 #Day18

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Seluruh area indoor kedai di-booking oleh perempuan bernama Niki, sedangkan area teras disisakan untuk pelanggan lain. Ruangan indoor kedai malam itu dihiasi dengan balon-balon helium berwarna hitam dan putih yang melayang di langit-langit kedai. Ada sekitar sepuluh orang panitia, yang juga merangkap sebagai party planner,  saat ini sedang bersembunyi di ruangan Ellie menunggu kedatangan dari orang yang berulang tahun. Sementara itu Ellie, dan para karyawannya bekerja normal seperti biasa melayani beberapa orang pembeli yang datang. Andrew, Dira dan suaminya duduk di kursi pelanggan di ruangan indoor, berakting sebagai pengunjung biasa yang sedang menikmati kopi dan cemilan lain.

Seorang pria, berumur sekitar awal tiga puluhan, mengenakan kemeja biru tua lengan panjang yang digulungkan hingga mencapai siku, berjalan memasuki kedai bersama seorang pria yang nampak sepantaran dengannya. Kedua pria itu memilih tempat duduk di sebelah jendela yang menghadap ke jalan raya, dimana tempat itu merupakan spot yang paling indah karena menampilkan kerlap-kerlip lampu jalan dan pegendara yang lewat. April segera mendatangi kedua pria tersebut dan menerima pesanan Cold Brew dan Cappucino. Tak lama kemudian, pria yang menemani pria berkemaja biru tua itu meninggalkan meja dan berjalan ke arah kamar kecil.

“Ngapain tuh cowok brengsek kemari?” gerutu Andrew. Saat teman pria berkemaja biru tua itu meninggalkannya sendirian, Andrew baru bisa melihat dengan jelas wajah pria itu.

Dira yang terkejut mendengar komentar Andrew segera menoleh ke arah mata Andrew tertuju. Dia segera mengenali pria tersebut. Kedua telapak tangannya refleks terangkat menutupi mulutnya yang ternganga. Pandangannya segera beralih dari pria itu dan mengedari penjuru kedai mencari Ellie.

“Happy birthday to you, happy birthday to you…” Lantunan lagu ulang tahun mulai berkumandang. Serombongan panitia ulang tahun berjalan keluar dari tempat persembunyian. Niki berada paling depan diiringi teman-temannya, Ellie berada di akhir barisan sambil membawa buket bunga. Pria berkemeja biru tua itu nampak terkejut, tapi nampak terkesan pura-pura menurut sudut pandang Andrew.

“Happy birthday sayang, saeng-il chughahae.” Niki menyodorkan kue ulang tahun dengan lilin berangka tiga puluh yang menyala di atasnya.

Ellie yang berada di luar lingkaran kelompok panitia ulang tahun, hanya bisa berdiri membeku melihat sosok yang sedang meniup lilin itu. Dia kenal betul dengannya. Dia hanya tak menyangka bahwa dirinya begitu polos saat menyangka ada banyak orang yang berulang tahun hari ini. Diantara kemungkinan satu banding seratus, kemungkinan satu ini terlalu ajaib untuk akhirnya bisa terjadi.

“Oh, jadi itu cewek barunya. Kalah lu cewek britpop sama kpop,” ejek Andrew yang tiba-tiba sudah berada disampingnya dan membuyarkan lamunannya.

“Ouch, gawat, gawat, gawat!” Elona yang berada di dalam lemari display berteriak histeris.

“Kenapa kau ribut sekali, Elona?” Protes Andreas yang kali ini diletakkan di samping Elona.

“Pria yang berulang tahun itu, aku kenal wajah itu, Andreas!”

“Siapa dia? Apa dia tuan mu terdahulu?”

“Tidak, aku tidak sudi dimiliki oleh pria pengkhianat seperti itu! Dia pemilik setengah lusin cangkir kotor yang terkurung di gudang belakang rumah Ellie.”

“Oh, no… Maksudmu cangkir-cangkir gembel yang diletakkan Ellie dilantai dan jadi sarang semut itu?”

“Yup. Pria ini adalah yang memberikan cangkir-cangkir itu kepada Ellie. Kemudian Ellie balas dengan menelantarkan cangkir-cangkir itu di gudang sana. Oooh, semoga Ellie ku baik-baik saja sekarang.”

#30DWC #30DWCJilid19 #Day17

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di dunia ini tak ada yang sempurna, oleh karena itu manusia seharusnya perlu menghindari untuk berharap terlalu tinggi pada sesuatu atau seseorang. Agar suksesnya acara ulang tahun yang digelar malam ini, Ellie berusaha untuk betul-betul memuaskan pelanggan dari sisi penyediaan tempat dan makanan. Dia sengaja memakai semua stok bahan makanan dan kopi yang paling baru datang agar terasa fresh. Semua meja dan kursi dia lap, dari atas sampai kaki-kakinya, hingga tak tersisa debu sedikitpun. Ellie pun meminta Hendro untuk memesankan buket bunga sebagai hadiah dari kedai kopi nya kepada pelanggan yang melakukan booking untuk pesta ulang tahun malam ini. Sekembalinya Hendro dari florist, Ellie terpaksa menyuruhnya kembali lagi untuk menukar bunga krisan kuning dan putih.
“Hendro, saya kan minta buket bunga untuk ulang tahun. Kenapa ada bunga krisan di dalamnya?  Kenapa kamu kasih itu?”
“Saya enggak tahu, Bu. Tadi saya melakukan seperti apa yang ibu bilang, kasih tahu perangkai bunga untuk minta dirangkaikan buket ulang tahun harga dua ratus ribu. Lalu saya dikasih bunga itu, Bu.”
“Krisan ini bunga untuk duka cita. Nanti dikira orang saya mendoakan yang ulang tahun meninggal, gimana?” Ellie menutup kedua belah matanya dengan telapak tangan. Dulu saat Ellie masih bekerja kantoran, dia pernah mendapat kuliah singkat dari kepala divisinya karena membiarkan bunga krisan lolos di buket bunga untuk hadiah peluncuran produk baru klien kantornya.  Dia lalu diberitahu bahwa di sejumlah negara Eropa dan Asia Timur, Bunga Krisan biasa digunakan untuk menyampaikan duka cita.
 “Waduh, ya kalau begitu biar saya balik lagi ke toko bunga untuk ganti bunga.”
“Nih, bawa uang lagi seratus ribu, minta ganti bunga Mawar atau atau Gerbera.”
Hendro kemudian melangkahkan kakinya dengan gontai untuk kembali ke toko bunga yang terletak sekitar dua blok ke belakang gedung Antasari.
Menjelang senja, beberapa orang perempuan, di antaranya Perempuan yang melakukan booking datang. Dia sengaja datang cepat untuk memantau persiapan dari party planner.
#30DWC #30DWCJilid19 #Day16
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Kemarin sore  Andrew akhirnya datang kembali ke kedai kopi setelah hampir seminggu berlibur di Jepang. Seperti yang sudah diduga oleh Ellie, dan dibocorkan oleh Andreas, dia datang membawa empat buah cangkir. Keempat cangkir itu bertema empat musim, dikemas dalam sebuah kotak bersekat empat. Masing-masing sekat diisi dengan sebuah cangkir bergambar simbol musim panas, musim dingin, musim semi, dan musim gugur.  
“Nih, upeti buat lu.” Andrew menyodorkan kotak cangkir tersebut pada Ellie dengan wajah datar.
“Dru, gue percayakan pemasaran sosial media kita buat di-handle sama lu.” Sebagai rasa ungkapan terima kasih Ellie atas pemberian oleh-oleh empat cangkir sekaligus dan kedatangan kembali Andrew, Ellie segera melimpahkan  tugas strategi pemasaran sosial media kepada Andrew sepenuhnya. Setelah mendapat order untuk acara ulang tahun tempo hari, Ellie mulai menaruh kepercayaan pada pemasaran lewat Instagram. 
“Kasih gue libur sehari, kek. Baru juga tadi malam gue datang udah disuruh kerja.”
“Kita dapat orderan ulang tahun, Dru! Dan emang benar kata lu, April itu kayaknya bawa hoki, orang itu mesan karena liat dari Instagram dia.”
“Tuh, kan. Percaya deh sama insting gue.”
Dan pada hari ini, di pagi hari saat semua karyawan belum datang karena jam operasional kedai baru dimulai satu jam lagi, Andrew sudah menapakkan kakinya di kedai kopi.

#30DWC #30DWCJilid19 #Day15
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Ellie bersama Sandra mempraktekkan pembuatan bermacam-macam menu yang dijual di kedai kopi. Mereka menyediakan kopi dengan menu yang familiar seperti Espresso, Cappuccino, Mocha, Americano, Cold Brew dan beberapa menu kopi dengan racikan modifikasi Ellie. Selain menyediakan kopi, mereka juga menyediakan cemilan pendamping seperti brownies, kentang goreng, dan beberapa cake lain yang dibuat sendiri oleh Ellie. Selama ini keberadaan Sandra sangat membantu Ellie karena dia hampir menguasai pembuatan semua menu di sana.

Kegiatan training berlangsung setengah hari. Mereka berhenti untuk makan siang, dan setelah makan siang Ellie mempersilahkan para karyawan barunya itu untuk pulang. Ellie mencukupkan waktu training mereka hanya setengah hari, karena kedai akan buka secara normal setelahnya. Besoknya secara bergantian karyawan baru akan mengikuti jam kerja secara penuh.

“Kak,” sapa April singkat saat berpapasan dengan Sandra di ruang loker yang terletak di dekat dapur. “Pak Andrew yang wawancarain saya kemarin kok enggak ada?”

“Oh, Pak Andrew udah berapa hari enggak masuk.”

“Kemana, kak? Sakit, ya?”

“Kurang tahu. Mungkin kalau tidak sakit, ya, liburan. Kenapa cari-cari pak Andrew?”

“Oh, enggak apa-apa, Kak. Cuma penasaran aja.” April nampak memaksakan senyum di wajahnya. Dia kemudian memilih berlalu dari ruangan itu dan pulang.

*****

Hari yang ditunggu itu tiba, hari di mana kedai kopi buka dari pagi untuk pertama kalinya. Ellie yang tidak pulang ke rumah karena memutuskan untuk tidur di kantor, agar bisa lebih cepat mempersiapkan keperluan di pagi hari, meminum dua macam multivitamin sebagai penambah staminanya pagi ini karena harus bergadang semalam.
 
Pelanggan pertama yang datang pagi itu adalah seorang perempuan muda. Dia masuk ke dalam kedai saat belum ada satu pengunjung pun.

“Mbak, saya mau booking tempat ini untuk acara ulang tahun, bisa?”

“Oh, bisa. Mau booking untuk berapa orang?” tanya Ellie agak kaget karena ini baru pertama kali menerima pesanan untuk ulang tahun.

“Sekitar tiga puluh orang, Mbak. Saya hanya mau private party, jadi saya mau booking tempat ini seluruhnya sampai selesai.”

“Mbak sudah ada party planner sendiri atau perlu kami sediakan?”

“Oh, saya sudah party planner langganan. Jadi saya cuma mau sewa tempat dan makanan dan minuman.”

“Kapan, ya?”

“Minggu depan, Jumat malam.”

“Ok saya bisa atur.” Ellie tak perlu berpikir panjang untuk menerima pesanan tersebut. Baginya ini kesempatan untuk memperoleh untung. “Ngomong-ngomong,  kok bisa sampai tempat saya ini, Mbak?” tanya Ellie penasaran akan kemunculan wanita muda ini secara tiba-tiba di kedainya.

“Saya kemarin lihat di Instagram Kak April. Tempatnya Bagus.”

#30DWC #30DWCJilid19 #Day14

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Semua cangkir dikumpulkan dengan rapi di lemari display, termasuk Elona. Mereka memperhatikan bagaimana para karyawan baru dilatih. Periode training bukanlah saat yang menyenangkan bagi para cangkir. Pelipe, cangkir kembaran Andreas yang berwarna coklat, pecah di hari pertama pelatihan pada masa awal persiapan pembukaan kedai kopi. Orang yang memecahkan Pelipe hanya mampu bertahan bekerja selama seminggu di sana. Bukan karena Pelipe menghantuinya, tapi karena dia selalu merasakan hal aneh setiap kali melihat Andreas.

“Elona, sepertinya kau akan pensiun menjadi cangkir Ellie. Pada pelatihan pertama kau bersama Ellie, tapi sekarang kau ada bersama kami,” celoteh Panda.

“Tak apa. Aku akan merasa terhormat jika harus berada di sini dan dipilih untuk melayani para pelanggan.”

“Kau harus berhenti besar kepala hanya karena kau cangkir kesayangan Ellie. Dari sekarang kau harus siap menghadapi kenyataan bersama para karyawan baru ini,” celutuk Andreas yang berada satu tingkat di atas Elona dan Panda. “Hmmm, sepertinya kau harus hati-hati dengan perempuan berambut panjang ini. Aku bisa merasakan hawa kecerobohan, aku bisa melihat masa kegelapan.”

“Ha! Tidak ada satupun yang mempercayai prediksi mu itu, Andreas,” olok Elena.

“Hanya pada saat gelap, kau akan mengerti arti sebuah cahaya.” Tribby, cangkir bermotif tribal, bersuara. 

“Hei,” Panda setengah berbisik pada Elona yang terletak di sampingnya. “Baru kali ini aku mendengar dia berbicara.”

“Aku juga jarang mendengar dia berbicara. Dia cangkir sepuh, sudah ada bersama Ellie bahkan di saat aku datang tujuh tahun yang lalu,” Elona balas berbisik. 

Tak ada lagi cangkir yang berbicara setelah itu. Ucapan yang keluar dari Tribby adalah hal yang langka. Selama ini Elona memegang peran bak kepala suku karena merupakan cangkir kesayangan Ellie. Namun Tribby adalah cangkir dengan usia tua, pemberian ayah Ellie. Dia dilukis langsung oleh ayah Ellie pada sebuah kelas seni saat  SMA. Dia melalui banyak hal yang jauh lebih banyak dari apa yang sudah dilalui Elona, hanya saja dia tak suka berada di depan. Andreas bilang dia pernah melihat retakan sehalus rambut pada telinga Tribby, itulah sebabnya dia lebih banyak diam.

“Ini koleksi cangkir saya.” Ellie mengajak para karyawannya berjalan mendekati lemari display. “Ada sekitar tiga puluhan cangkir dengan motif berbeda di lemari ini. Dan untuk berjaga-jaga, saya juga menyediakan gelas tambahan, tapi dengan model transparan di lemari yang ada di belakang meja barista. Beberapa dari cangkir bermotif ini mempunyai nama. Gelas pink dengan motif hati itu bernama Elona, di sebelahnya Panda, yang bergambar kunci G itu bernama Andreas, yang di pojok itu Tribby. Polcoff mana, ya, San?” Ellie menyadari hilangnya Polcoff dari lemarinya.

“Belum dikembalikan pak Robert, Bu,” jawab Sandra.

“Ck,” Ellie berdecak sebal. Polcoff adalah cangkir yang baru saja dia beli bulan lalu di salah satu hypermarket. “Ingatkan saya nanti untuk ngambil, ya. Oke, kita lanjut ke praktek cara membuat menu kopi. Sandra dan Hendro tolong siapkan bahan-bahan.”

“Cangkirnya bagus-bagus, ya, Bu,” kata April yang berdiri sangat dekat dengan lemari display.

“Thanks April.” Saat itu, Ellie tak mengetahui sama sekali bahwa ponsel yang terselip di kantong depan kemeja April sedang berada pada posisi menyala. Kamera ponsel yang menghadap ke depan itu merekam secara bebas kegiatan training dan menyiarkannya secara live di Instagram.

    #30DWC #30DWCJilid19 #Day13

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Dua hari semenjak kedatangan terakhir Andrew, dia belum juga menunjukkan batang hidungnya kembali di kedai kopi Ellie. Termasuk hari ini, hari pertama pelatihan karyawan baru. Ellie meminta tiga orang karyawan baru yang diterima untuk mengikuti pelatihan seharian penuh di kedainya.

“Selamat pagi,” sapa Ellie kepada semua karyawan kedai yang telah berkumpul. “Selamat datang di hari pertama pelatihan karyawan. Perkenalkan nama saya Ellie, dan di sini ada dua orang karyawan yang sudah sedari awal bekerja di sini, ini Hendro dan ini Sandra.” Ellie menunjuk Hendro dan Sandra secara bergantian. “Untuk karyawan baru silahkan perkenalkan diri kalian.”

Tiga orang karyawan baru tersebut bertukar pandang, hingga akhirnya satu-satunya karyawan baru pria berinisiatif memperkenalkan diri terlebih dahulu. “Nama saya Bambang.” 

Ellie bisa mendengar, walau samar, suara terpekik namun ditahan dari Sandra. Mungkin dari sekarang dia akan menghilangkan nama Bambang dari list nama spontanitas untuk mengejek Hendro.

“Saya berusia dua puluh satu tahun, sebelumnya pernah bekerja sebagai pelayan di restoran Pizza,” lanjut Bambang memperkenalkan dirinya.

“Saya April,” kata perempuan berambut panjang yang berdiri di tengah deretan karyawan baru melanjutkan. “Umur saya dua puluh tahun, seorang mahasiswi jurusan Administrasi Bisnis. Motivasi saya bekerja di sini adalah rasa suka saya terhadap kopi.” April lah karyawan yang dipilih oleh Andrew berdasarkan jumlah follower Instagramnya.

“Saya Ulfa, usia dua puluh lima tahun. Sebelumnya saya bekerja di salah satu kafe franchise selama setahun. Saya resign karena menikah, tapi sekarang saya ingin memulai bekerja lagi,” kata Ulfa sambil tersenyum mengakhiri perkenalannya.     

#30DWC #30DWCJilid19 #Day12
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
“Apa yang terjadi, Andreas?” tanya Artsy pada Andreas. Mereka berdua sejak tadi pagi menemani Ellie dan Andrew mewawancara para pelamar.

“Mereka bertengkar lagi, Artsy. Dan ini bukan pertama kali mereka bertengkar.” jawab Andreas yang pagi ini berisi kopi Espresso. “Mungkin setelah drama ini akan ada penghuni baru di lemari display, seperti yang sudah sering terjadi.”

“Maksudmu akan ada cangkir baru?”

“Yup, Andrew biasanya akan menghilang beberapa hari kemudian datang lagi seolah tak ada yang terjadi, dan biasanya membawa cangkir baru untuk Ellie.”

“Hmmm… Mengapa ada hubungan seperti itu?”

“Andrew adalah mantan Tuan ku, dia adalah pria yang memiliki selera yang bagus. Jika dia menghilang, itu berarti bagus untuknya.”

“Kau sepertinya salah mengerti arti tentang kata bagus. Kau terlalu fanatik, Andreas.”

Andrew kembali masuk ke dalam kedai. Dia menghampiri Ellie yang masih duduk di tempat wawancara tadi sambil mempelajari resume dari para pelamar. “Gue cabut dulu, ya.” Andrew menarik tas slempang nya kemudian berlalu meninggalkan Ellie.

“Hai guys…” Dira masuk ke dalam kedai sebelum Andrew sampai di depan pintu. Sama seperti kemarin, dia datang masih dengan seragam yoga nya. “Loh, kok udah mau pulang, Dru?”

“Mau jemput Tania dulu. Bye Dir.”

“Oke, salam buat Tania, ya.”

Sepertinya tak ada sedikit niat Andrew untuk membalas salam dari Dira, karena kentara sekali bahwa itu hanya salam basa-basi. Andrew tahu bahwa Dira dan Ellie bukan orang yang bisa akrab dengan Tania, begitu juga sebaliknya, walau hanya untuk berkirim salam.

“Kenapa tuh anak, El? Tumben pagi-pagi udah keluar dari sini?”

“Enggak tahu, ngambeknya ngalah-ngalahin gue yang cewek kalau lagi datang bulan.”

#30DWC #30DWJilid 19 #Day11


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me


I love a cup of a good coffee with a good friend and good conversation.

Follow Us

Labels

cerpen feedback1 feedback2 Homemade Food Jurnal Melepaskan Local Cafe Singapore Travel

Populer Post

  • Rumpi Cangkir Kopi | Prolog
    Di lantai dasar suatu gedung perkantoran bersama, di suatu kota cukup besar, terdapat sebuah kantin karyawan yang menyediakan kopi kelas c...
  • Keluarga Impian Pandu
    Wangi campuran rempah-rempah berhembus segar mengelilingi dapur. Nisa dengan sangat hati-hati memasukkan irisan kentang dan wortel ke dalam...
  • Aku Bisa Apa
    Sore kala itu belum senja, tapi sembarut kuning bergradasi sudah menghampar menyelimuti langit. Angin yang berhembus membelai dengan penuh ...
  • Best Friend Of Her
            Aku mungkin hanya punya sedikit waktu bertemu denganmu setiap minggunya, atau bahkan setiap bulannya. Bun, andai burung-burung yang...
  • Rumpi Cangkir Kopi #2
    “Oke, langsung kita mulai saja, ya. Nanti siang saya ada janji lunch dengan calon tenant baru.” Robert menarik kursi yang berada di ujun...
  • Rumpi Cangkir Kopi # 6
    Elona, yang diletakkan di sudut meja kerja Ellie, menjadi saksi bisu keputusan perempuan itu untuk menjadikan ruang kerjanya yang berukuran...
  • Delilah Menjawab
    Kulirik jam dinding yang tergantung di sebelah kanan pintu, jam 10 malam. Nampaknya malam ini aku tidur lebih cepat saja, hari ini tamu-ta...
  • Tips Liburan Ke Singapura
    Menikmati suasa malam di Merlion Akhir Juli lalu, di sela kepenatan aktifitas fisik  dan batin (hahaha) saya menyempatkan diri l...
  • Say....onara
    Empat jam terdekam mengerjakan psikotest dalam ruangan pengap dengan AC yang ku terka mungkin keluaran negri Panda, sukses membuatku berhal...
  • Untitle
    Bibir mungil itu mengerucut dan menjulurkan daging lunak berwarna merah dengan serabut putih di atasnya. Seorang pria tertawa dengan bahu t...

Blog Archive

  • ►  2020 (2)
    • ►  Desember (1)
    • ►  September (1)
  • ▼  2019 (35)
    • ▼  Agustus (31)
      • Elona Bercerita
      • Terima Kasih Mama
      • I Am Sorry To Myself
      • Surat Cinta Di Kedai Kopi (Full)
      • Surat Cinta Di Kedai Kopi
      • Rumpi Cangkir Kopi # 26
      • Rumpi Cangkir Kopi # 25
      • Rumpi Cangkir Kopi # 24
      • Rumpi Cangkir Kopi # 23
      • Rumpi Cangkir Kopi # 22
      • Rumpi Cangkir Kopi # 21
      • Rumpi Cangkir Kopi # 20
      • Rumpi Cangkir Kopi # 19
      • Rumpi Cangkir Kopi # 18
      • Rumpi Cangkir Kopi # 17
      • Rumpi Cangkir Kopi # 16
      • Rumpi Cangkir Kopi # 15
      • Rumpi Cangkir Kopi # 14
      • Rumpi Cangkir Kopi # 13
      • Rumpi Cangkir Kopi # 12
      • Rumpi Cangkir Kopi # 11
      • Rumpi Cangkir Kopi # 10
      • Rumpi Cangkir Kopi # 9
      • Rumpi Cangkir Kopi # 8
      • Rumpi Cangkir Kopi # 7
      • Rumpi Cangkir Kopi # 6
      • Rumpi Cangkir Kopi # 5
      • Rumpi Cangkir Kopi # 4
      • Rumpi Cangkir Kopi # 3
      • Rumpi Cangkir Kopi #2
      • Rumpi Cangkir Kopi #1
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (3)
  • ►  2018 (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ►  2016 (7)
    • ►  Juli (7)
  • ►  2014 (1)
    • ►  Juni (1)
  • ►  2013 (1)
    • ►  November (1)

Blog Penulis

  • Just Merisa (Metharia)

TEMAN KOPI

FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates