Rumpi Cangkir Kopi #2

by - 4:23 PM


“Oke, langsung kita mulai saja, ya. Nanti siang saya ada janji lunch dengan calon tenant baru.” Robert menarik kursi yang berada di ujung meja, membelakangi whiteboard yang masih belum dibersihkan dari sisa rapat yang entah kapan. “Kalian ini sudah setengah tahun berjalan, kalau tidak ada untung, lebih baik tutup saja. Nanti lama-lama bangkrut kalian kalau habis duit buat bayar karyawan saja.” Kalimat itu nampak keluar dengan santai dari mulut Robert.

“Tapi, kan, sesuai pak dengan kondisi gedung ini yang belum semua lantai diisi oleh penyewa,” Ellie membela diri.

“Tapi dari semua tenant saya, apa ada separuh dari mereka jadi pelanggan kamu? Harusnya itu sudah cukup dijadikan sampel bahwa produk kalian ini kurang diminati.”

“Tidak bisa begitu, pak. Kalau bapak mengambil para pekerja dari tenant bapak itu sebagai sampel, maka itu sampel yang cacat. Karena mereka sama sekali tidak mewakili target pasar kami. Kebanyakan pekerja yang berada di gedung ini, saat ini, sudah pada berumur. Bukan anak muda yang gemar beli kopi atau nongkrong.”

See? Kamu paham, kan, kalau kamu tidak punya pasar di sini?”

Seketika itu syaraf di kepala Ellie mencapai puncak ketegangannya. Kepalanya berdenyut seakan siap untuk meledak dari dalam. Nafasnya terasa berat disusul perasaan mual yang mulai bermunculan.

“Saya di sini berbicara mewakili Dira, pihak gedung. Dia memang tidak ada kasih kamu investasi berbentuk uang, tapi kalau dibandingkan kami sewakan tempat kamu itu kepada orang lain, mereka laku atau tidak kami tetap menerima biaya sewa.”

“Tapi, bang,” Dira akhirnya angkat bicara. “Abang kasih dulu, lah, kami waktu setahun. Anggap saja itu jatah bagian saya dari gedung ini.  Saya dengar kemarin kata sekretaris abang, abang rapat dengan perusahaan koran dan majalah. Kalau mereka jadi masuk ke sini, mereka bisa membawa lumayan banyak pekerja usia muda.”

Robert terdiam. Ellie mulai mendapatkan titik temu kebingungannya akan tujuan rapat pagi ini. Robert menyimpan sesuatu, dia punya agenda lain yang ingin dilakukannya sendiri.

“Ellie, kamu mungkin harus memikirkan inovasi baru. Buka kafe sungguhan saja. Kafe yang normal-normal saja, enggak usah pakai cangkir yang macam-macam begini.” Robert menarik cangkir kopi berwarna merah muda yang berada di hadapan Ellie. “Ouch…” Robert reflek melepaskan pengangan tangannya pada cangkir kopi itu.

“Kamu bikin kopi panas mendidih, ya?”

Ellie dan Andrew saling pandang. Ellie memang membawa sendiri kopi buatannya di cangkir berwarna merah muda itu. Dia membuatnya di kedai kopi sebelum pergi ke ruang rapat ini, dengan suhu yang sedikit lebih hangat. Tapi dengan jarak kedatangan Ellie dan Robert ke sini yang menghabiskan waktu selama setengah jam, dan dengan kondisi ruangan ber-AC, mustahil cangkir itu masih panas. Dan selama di ruangan ini, Andrew beberapa kali ikut menyeruput kopi itu.

“Enggak, kok, pak. Kopi ini saya bikin sebelum datang ke sini.” Sigap Ellie menarik cangkirnya. Kulit tangannya hanya merasakan dinginnya sebuah cangkir porselin di ruang ber-AC.

Dasar manusia serakah,” gerutu Elona. Cangkir merah muda bermotif hati yang berbicara di dunianya sendiri.

#30DWC #30DWCJilid19 #Day2

You May Also Like

0 komentar

Terima kasih untuk setiap komentar yang dimasukkan.

info